Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 15 Agustus 2014 | 10:30 WIB
Sebuah lukisan karya G.B. Hooijer yang tampaknya mencoba menggambarkan para peziarah Borobudur. (Tropenmuseum)

 

Peziarah berdiri di lorong pradaksinapatha.Untuk memandang dan memaknai relief secara baik di dinding teras, dia harus merapat di pagar langkan. (Seni: Lambok E. Hutabarat/National Geographic Indonesia)
Menurutnya lebar lorong pradaksinapatha–lorong di mana peziarah harus memutarinya searah jarum jam–merupakan jarak yang disediakan oleh perancang candi ini sebagai batas terjauh untuk menyaksikan panil relief dengan nyaman dan memuaskan.“Rupanya nenek moyang kita sudah memikirkan bagaimana cara yang baik membaca relief,” ungkapnya.

 

 
 
 
 
Cara peziarah kuno menikmati Borobudur: Dalam kondisi beryoga, peziarah yang bersungguh-sungguh akan membaca secara saksama rangkaian cerita pada panil relief di dinding pagar langkan dan dinding teras. Mereka akan berkeliling sebanyak sepuluh kali untuk mencapai Bodhisattwa atau tingkatan pencerahan. (Seni: Lambok E. Hutabarat/National Geographic Indonesia)
 
LEBIH DARI SERIBU TAHUN SILAM, rekahan bentang alam Gunung Merapi dan Merbabu masih terlihat sangat jelas. Kedua gunung di arah matahari terbit itu menjadi saksi peziarah kuno Borobudur ketika mengawali lawatannya ke pusat pembelajaran agama
Suatu adegan Jataka di pagar langkan ini dapat dilihat nyaman secara sambung- menyambung jika peziarah berdiri merapat di dinding teras:Kapal tenggelam diserang monster. Awak kapal selamat karena menaiki penyu jelmaan Bodhisattwa. Mereka kehabisan bekal, namun penyu itu menyediakan dirinya untuk disantap. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

Dalam reka ulang Munandar, akses ke dalam lorong-lorong Borobudur pun disesuaikan dengan tingkatan pendeta Buddha. Lorong yang lebih tinggi menandakan tingkatan lebih tinggi pula menuju pencerahan. Lalu, bagaimana dengan pusat pengajaran Buddha lainnya? Tampaknya ada kesejajaran makna antara Candi Borobudur di Jawa kuno dan Stupa Sāñci di India kuno. Artinya, perjalanan mengelilingi Candi Borobudur sama dengan perjalanan mengelilingi Stupa Sāñci. Perjalanan keduanya dianggap sebagai simbol penghayatan kehidupan Siddhārta Gautama sejak dia dilahirkan hingga wafat dan memasuki nirwana.“Simpulannya cukup mengejutkan!” kata Munandar, “Apa yang tadinya diperkirakan para arkeolog bahwa membaca relief Borobudur itu mudah ternyata harus berkali-kali berkeliling searah jarum jam dengan cara merapat ke salah satu dindingnya.”

Dua Guru Besar Arkeologi dari Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dan Hariani Santiko, tengah berdiskusi tentang bagaimana peziarah kuno melihat relief Borobudur. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)