Sistem Sentralisasi Pertanian Menjadi Faktor Runtuhnya Peradaban Khmer

By Sysilia Tanhati, Jumat, 15 Oktober 2021 | 16:00 WIB
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, perubahan sistem pertanian menjadi faktor penyebab runtuhnya peradaban Khmer. ( undefined Julia Volk)

Namun sebuah penelitian memaparkan bahwa raja-raja Angkor Wat mungkin secara tidak sengaja menyebabkan jatuhnya kerajaan mereka sendiri.

Para peneliti percaya salah satu alasan utama runtuhnya peradaban Khmer adalah perubahan sistem pertanian dari mandiri menjadi sentralisasi.

Sistem pertanian terpusat ini dibangun oleh raja-raja untuk mendukung dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kerajaan membangun saluran yang panjangnya lebih dari 20 km dan lebar 40–60 m, waduk dan, ladang bertembok. Ini semua digunakan untuk lahan pertanian. Akhirnya, pembangunan ini mengubah sistem pertanian menjadi sentralisasi sehingga banyak masyarakat kehilangan lahannya.

Sentralisasi besar-besaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan justru menjadi awal kehancuran peradaban ini.

Candi Khmer di Kamboja. Sistem sentralisasi pertanian menjadi faktor runtuhnya peradaban Khmer alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Thinkstock)

Peternakan sebelumnya dimiliki dan dijalankan oleh kelas menengah, memungkinkan mereka untuk mendukung komunitas lokal. Penguasa semakin mempersulit warga untuk memiliki tanah sehingga pertanian menjadi pekerjaan kaum elit dan akhirnya menjadi terpusat.

Pergeseran sistem pertanian sebenarnya lebih efisien dalam hal pemerataan pembagian hasil tani. Namun sistem ini kaku dan tidak mampu mengatasi perubahan dengan cepat. Salah satunya adalah kegagalan dalam pembagian hasil panen kepada warga saat musim hujan dan kemarau. Kegagalan ini menyebabkan kemerosotan kerajaan di mana masyarakat Khmer sangat bergantung pada pertanian.

Pertanian adalah tulang punggung masyarakat dan juga alasan utama para penguasa memupuk kekayaannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Sarah Klassen dari Universitas British Columbia dan Damian Evans, seorang arkeologis dari École française d'Extrême-Orient menggunakan teknik pemindaian sinar laser 3D. Mereka memetakan tanah di sekitar Angkor untuk mengungkapkan denah kota selama masa kejayaan peradaban Khmer.