Sistem Sentralisasi Pertanian Menjadi Faktor Runtuhnya Peradaban Khmer

By Sysilia Tanhati, Jumat, 15 Oktober 2021 | 16:00 WIB
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, perubahan sistem pertanian menjadi faktor penyebab runtuhnya peradaban Khmer. ( undefined Julia Volk)

Nationalgeographic.co.id—Lebih dari seribu tahun yang lalu, peradaban Khmer kuno menjadi kekuatan budaya dan politik yang  mendominasi sebagian besar Asia Tenggara.

Antara abad ke-9 dan ke-15, Kerajaan Khmer menciptakan beberapa arsitektur paling spektakuler dalam sejarah. Ini termasuk salah satu monumen keagamaan terbesar di dunia: Angkor Wat. Kuil megah ini menjadi salah satu situs arkeologi paling terkenal di dunia, dikunjungi oleh jutaan turis setiap tahunnya.

Penyebab jatuhnya peradaban Khmer masih menjadi pertanyaan ahli sejarah. Banyak yang mengaitkannya dengan invasi Thailand pada 1431.

Namun sebuah penelitian memaparkan bahwa raja-raja Angkor Wat mungkin secara tidak sengaja menyebabkan jatuhnya kerajaan mereka sendiri.

Para peneliti percaya salah satu alasan utama runtuhnya peradaban Khmer adalah perubahan sistem pertanian dari mandiri menjadi sentralisasi.

Sistem pertanian terpusat ini dibangun oleh raja-raja untuk mendukung dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kerajaan membangun saluran yang panjangnya lebih dari 20 km dan lebar 40–60 m, waduk dan, ladang bertembok. Ini semua digunakan untuk lahan pertanian. Akhirnya, pembangunan ini mengubah sistem pertanian menjadi sentralisasi sehingga banyak masyarakat kehilangan lahannya.

Sentralisasi besar-besaran yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan justru menjadi awal kehancuran peradaban ini.

Candi Khmer di Kamboja. Sistem sentralisasi pertanian menjadi faktor runtuhnya peradaban Khmer alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Thinkstock)

Peternakan sebelumnya dimiliki dan dijalankan oleh kelas menengah, memungkinkan mereka untuk mendukung komunitas lokal. Penguasa semakin mempersulit warga untuk memiliki tanah sehingga pertanian menjadi pekerjaan kaum elit dan akhirnya menjadi terpusat.

Pergeseran sistem pertanian sebenarnya lebih efisien dalam hal pemerataan pembagian hasil tani. Namun sistem ini kaku dan tidak mampu mengatasi perubahan dengan cepat. Salah satunya adalah kegagalan dalam pembagian hasil panen kepada warga saat musim hujan dan kemarau. Kegagalan ini menyebabkan kemerosotan kerajaan di mana masyarakat Khmer sangat bergantung pada pertanian.

Pertanian adalah tulang punggung masyarakat dan juga alasan utama para penguasa memupuk kekayaannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Sarah Klassen dari Universitas British Columbia dan Damian Evans, seorang arkeologis dari École française d'Extrême-Orient menggunakan teknik pemindaian sinar laser 3D. Mereka memetakan tanah di sekitar Angkor untuk mengungkapkan denah kota selama masa kejayaan peradaban Khmer.

Peta yang dihasilkan mengungkapkan kedua area pendudukan padat dengan blok kota dan jalan-jalan, dan area dengan kepadatan lebih rendah dengan kuil komunitas yang tersebar. Kadang-kadang ditandai dengan sedikit lebih dari sebaran batu bata atau hanya kesan samar gundukan dengan parit di sekitarnya.

Para ilmuwan berfokus pada lokasi kuil yang baru ditemukan. Meski bukan merupakan kuil besar namun kuil menjadi pusat komunitas petani setempat.

Dilansir dari laman Sapiens, peneliti menemukan penurunan drastis dalam jumlah fondasi kuil baru di lanskap selama abad ke-11 dan 12. Ini bertepatan dengan saat dilakukan pembangunan proyek-proyek besar seperti Angkor Wat, rumah sakit, dan jaringan jalan yang luas.

Penjelasan mengapa jumlah kuil yang dibangun menurun ketika proyek-proyek besar sedang dilakukan oleh penguasa diungkapkan pada serangkaian prasasti. Ini berkaitan dengan kepemilikan tanah dan sengketa.

Baca Juga: Satu Lagi, Penjelasan Teka-Teki Dinosaurus Kamboja di Kuil Ta Prohm

Sarah Klassen adalah seorang arkeolog, sekaligus Direktur Proyek Arkeologi Koh Ker dan Inisiatif Lidar Arkeologi Kamboja (@dr.sarahklassen)

Mereka mengungkapkan bahwa, di peradaban Khmer, tanah awalnya dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Memasuki abad ke-11, warga tingkat menengah tidak lagi dirujuk dalam konteks transaksi tanah atau fondasi kuil baru. Bahkan pada abad ke-12, warga dengan pangkat yang lebih tinggi hanya disebut sebagai pekerja kuil alih-alih pemilik tanah. Kepemilikan tanah makin terkonsentrasi ke tangan orang kaya kemudian raja.

Unit pertanian besar disponsori oleh kerajaan untuk memusatkan hasil pertanian. Pada puncak kekuasaannya di abad ke-13, masyarakat yang tinggal di daerah kecil membentuk pusat budaya.

Perpindahan ke sentralisasi bertepatan dengan penurunan ekonomi dan budaya yang berlangsung selama berabad-abad.

Sistem terpusat mungkin tidak mampu mengatasi populasi yang berkembang pesat, perubahan politik dan budaya dan cuaca ekstrem. Perubahan kepemilikan dan pengelolaan lahan, pertumbuhan pesat populasi warga non-penghasil beras di inti perkotaan menyebabkan kerajaan kesulitan untuk mengatasi masalah. Salah satunya adalah perubahan cuaca ekstrem yang turun memengaruhi panen.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, sistem yang diciptakan oleh para raja malah menjadi awal kejatuhan peradaban Khmer.

Baca Juga: Tersingkap, Masyarakat Neolitik di Catalhoyuk Sangat Maju Bertani