Perjalanan ke Manggarai Flores kali ini, seperti membawa saya ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Liang Bua yang menggemparkan dunia dengan ditemukannya fosil manusia kerdil (hobbit), dan desa Wae Rebo dengan segala keindahannya.
Kronika manusia kerdil di Liang Bua
Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama dari Ruteng, tibalah saya di Liang Bua. Sebuah situs, yang sempat menggemparkan dunia arkeologi dengan penemuan fosil yang masih menuai kontroversi hingga sekarang.
Fosil LB1 yang ditemukan di Liang Bua memiliki ciri-ciri orang dewasa namun dengan tinggi badan yang diperkirakan hanya sekitar 105 sentimeter. Kelompok-kelompok peneliti lalu muncul dengan hipotesis masing-masing.
Ada yang berpendapat fosil LB1 adalah spesies yang berbeda dengan Homo erectus maupun Homo sapiens kemudian menamakannya dengan nama Homo Floresiensis serta menyatakannya sebagai matarantai yang hilang (missing link) dari teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin.
Ada pula kelompok yang beranggapan fosil LB1 adalah manusia modern yang mengalami kelainan.
Terlepas dari debat dan kontroversi para ilmuwan, situs ini menarik perhatian saya karena letaknya yang berdekatan dengan Rampasasa, sebuah desa yang sebagian warganya memiliki tinggi badan kurang dari 140 sentimeter dan menganggap mereka keturunan dari manusia yang dulu hidup di Liang Bua.
Tentunya kemungkinan tersebut layak dipertimbangkan mengingat letaknya yang berdekatan.
Namun saya kemudian melihat lingkungan tempat mereka tinggal. Sebuah lingkungan yang jauh dari kata sejahtera. Mereka tinggal di rumah berdinding bambu dan berlantai tanah, dengan perabot seperlunya. Mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam. Jagung dan kopi yang tidak seberapa jumlahnya adalah komoditas utama yang ditukar dengan beras untuk pemenuhan kebutuhan pangan—lauk pauk seadanya.
Tentunya pola makan yang sederhana tersebut memengaruhi bentuktubuhdan tinggi badan mereka. Komponen gizi yang mereka butuhkan saat tumbuh kembang, kemungkinan besar tidak terpenuhi, sehingga rata-rata memiliki tinggi badan di bawah rata-rata.
Saya meninggalkan Rampasasa dan Liang Bua sore itu sebagai salah seorang saksi akan sebuah ironi. Suatu tempat yang menggemparkan dunia, ternyata sekaligus tempat yang sangat jauh dari sejahtera.
Bila di tempat ini merupakan titik penting cerita peradaban manusia, lantas bagaimana kelanjutan peradaban mereka ke depan dalam berbagai keterbatasan?
Akankah beberapa puluh mungkin ratus tahun yang akan datang, generasi penerus kita menemukan fosil masyarakat Rampasasa yang bertinggi tubuh di bawah rata-rata, kemudian mempertanyakan spesies mereka, tanpa mengetahui kelainan tinggi tubuh mereka disebabkan oleh tidak terpenuhinya gizi yang dibutuhkan akibat kondisi ekonomi mereka?