Warisan Luhur dari Manggarai

By , Jumat, 12 September 2014 | 13:48 WIB

Surga kecil bernama Wae Rebo

Udara yang tak berpolusi membuat langit malam itu terlihat bak hamparan permadani bertabur permata bagi mata saya yang lelah. Jutaan bintang bersinar dalam keheningan malam yang dingin.

Menambah pesona malam negeri di atas awan, Waerebo, yang akan saya tinggalkan setelah beberapa hari merasakan kehidupan bersama masyarakat di sini.

dr. Ratih dan anak-anak Waerebo (Dok. KompasTV)

Seperti di berbagai tempat yang saya datangi sebelumnya, saya menyempatkan diri untuk menilik kebiasaan hidup dan lingkungan yang saya datangi dari sudut pandang seorang dokter.

Biasanya dengan mudah saya membuat catatan mental mengenai hal yang berkaitan dengan perilaku kesehatan masyarakat, atau kesehatan lingkungan. Namun sampai malam terakhir ini, saya belum mencatat apa pun. Saya bagai tersihir oleh alam dan harmonisasi kehidupan di sini.

Struktur bangunan Niang yang memiliki tungku untuk memasak di dalam dan cenderung gelap awalnya sempat menarik perhatian saya.

Segera terbersit kemungkinan kurang baiknya ventilasi udara di dalam Niang dan lingkungan yang lembab, karena jarang terkena sinar mentari, dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

Namun ternyata kebiasaan masyarakat mengimbangi keadaan ini.

Tungku untuk memasak yang awalnya mengkhawatirkan saya, ternyata berfungsi ganda untuk mengasapi kayu dan atap Niang sehingga tidak lembab dan rapuh. Untuk menghidari asap mengumpul dalam Niang, jendela-jendela dibuka selama memasak. Sebuah gambaran yang ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku kesehatan.

Sebuah ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku kesehatan.

Ketiadaan fasilitas kesehatan di Wae Rebo, sedikit meresahkan saya. Namun setelah bercengkrama dan memeriksa masyarakat, saya sedikit lega. Kondisi kesehatan mereka bisa dibilang cukup baik.

Meskipun demikian, menurut saya keberadaan fasilitas kesehatan tentu akan membuat kualitas kesehatan lebih baik lagi. Malam semakin larut, saya pun menyerah pada kantuk.

Pagi harinya, usai berpamitan dengan warga Wae Rebo, saya melangkahkan kaki meninggalkan desa cantik ini.

Kira-kira lima belas menit jalan mendaki, saya menghentikan langkah dan membalik badan untuk melihat Wae Rebo dari kejauhan untuk terakhir kali. Sebuah senyum mengembang, bersama sebuah harapan. Harapan akan berlanjutnya harmoni indah antara manusia dan alam. Sebuah paduan yang indah dalam kesederhanaan, dan bisik hati yang selalu meruap ketika melihat warna hidup warga adalah kualitas kesehatan dan kehidupan yang semakin baik dari waktu ke waktu.

_______________________________Melalui program dokumenter, "Doctors Go Wild", Kompas TV mengajak dua dokter untuk mengeksplorasi berbagai tempat di pelosok Nusantara, melihat dan mempelajari berbagai tata cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat setempat.