Warisan Luhur dari Manggarai

By , Jumat, 12 September 2014 | 13:48 WIB

Perjalanan ke Manggarai Flores kali ini, seperti membawa saya ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Liang Bua yang menggemparkan dunia dengan ditemukannya fosil manusia kerdil (hobbit), dan desa Wae Rebo dengan segala keindahannya.

Kronika manusia kerdil di Liang Bua

Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama dari Ruteng, tibalah saya di Liang Bua. Sebuah situs, yang sempat menggemparkan dunia arkeologi dengan penemuan fosil yang masih menuai kontroversi hingga sekarang.

Fosil LB1 yang ditemukan di Liang Bua memiliki ciri-ciri orang dewasa namun dengan tinggi badan yang diperkirakan hanya sekitar 105 sentimeter. Kelompok-kelompok peneliti lalu muncul dengan hipotesis masing-masing.

Ada yang berpendapat fosil LB1 adalah spesies yang berbeda dengan Homo erectus maupun Homo sapiens kemudian menamakannya dengan nama Homo Floresiensis serta menyatakannya sebagai matarantai yang hilang (missing link) dari teori  evolusi yang dicetuskan Charles Darwin.

Ada pula kelompok yang beranggapan fosil LB1 adalah manusia modern yang mengalami kelainan.

Terlepas dari debat dan kontroversi para ilmuwan, situs ini menarik perhatian saya karena letaknya yang berdekatan dengan Rampasasa, sebuah desa yang sebagian warganya memiliki tinggi badan kurang dari 140 sentimeter dan menganggap mereka keturunan dari manusia yang dulu hidup di Liang Bua.

Tentunya kemungkinan tersebut layak dipertimbangkan mengingat letaknya yang berdekatan.

Namun saya kemudian melihat lingkungan tempat mereka tinggal. Sebuah lingkungan yang jauh dari kata sejahtera. Mereka tinggal di rumah berdinding bambu dan berlantai tanah, dengan perabot seperlunya. Mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam. Jagung dan kopi yang tidak seberapa jumlahnya adalah komoditas utama yang ditukar dengan beras untuk pemenuhan kebutuhan pangan—lauk pauk seadanya.

Tentunya pola makan yang sederhana tersebut memengaruhi bentuktubuhdan tinggi badan mereka. Komponen gizi yang mereka butuhkan saat tumbuh kembang, kemungkinan besar tidak terpenuhi, sehingga rata-rata memiliki tinggi badan di bawah rata-rata.

Saya meninggalkan Rampasasa dan Liang Bua sore itu sebagai salah seorang saksi akan sebuah ironi. Suatu tempat yang menggemparkan dunia, ternyata sekaligus tempat yang sangat jauh dari sejahtera.

Bila di tempat ini merupakan titik penting cerita peradaban manusia, lantas bagaimana kelanjutan peradaban mereka ke depan dalam berbagai keterbatasan?

Akankah beberapa puluh mungkin ratus tahun yang akan datang, generasi penerus kita menemukan fosil masyarakat Rampasasa yang bertinggi tubuh di bawah rata-rata, kemudian mempertanyakan spesies mereka, tanpa mengetahui kelainan tinggi tubuh mereka disebabkan oleh tidak terpenuhinya gizi yang dibutuhkan akibat kondisi ekonomi mereka?

Surga kecil bernama Wae Rebo

Udara yang tak berpolusi membuat langit malam itu terlihat bak hamparan permadani bertabur permata bagi mata saya yang lelah. Jutaan bintang bersinar dalam keheningan malam yang dingin.

Menambah pesona malam negeri di atas awan, Waerebo, yang akan saya tinggalkan setelah beberapa hari merasakan kehidupan bersama masyarakat di sini.

dr. Ratih dan anak-anak Waerebo (Dok. KompasTV)

Seperti di berbagai tempat yang saya datangi sebelumnya, saya menyempatkan diri untuk menilik kebiasaan hidup dan lingkungan yang saya datangi dari sudut pandang seorang dokter.

Biasanya dengan mudah saya membuat catatan mental mengenai hal yang berkaitan dengan perilaku kesehatan masyarakat, atau kesehatan lingkungan. Namun sampai malam terakhir ini, saya belum mencatat apa pun. Saya bagai tersihir oleh alam dan harmonisasi kehidupan di sini.

Struktur bangunan Niang yang memiliki tungku untuk memasak di dalam dan cenderung gelap awalnya sempat menarik perhatian saya.

Segera terbersit kemungkinan kurang baiknya ventilasi udara di dalam Niang dan lingkungan yang lembab, karena jarang terkena sinar mentari, dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.

Namun ternyata kebiasaan masyarakat mengimbangi keadaan ini.

Tungku untuk memasak yang awalnya mengkhawatirkan saya, ternyata berfungsi ganda untuk mengasapi kayu dan atap Niang sehingga tidak lembab dan rapuh. Untuk menghidari asap mengumpul dalam Niang, jendela-jendela dibuka selama memasak. Sebuah gambaran yang ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku kesehatan.

Sebuah ideal akan keseimbangan lingkungan dan perilaku kesehatan.

Ketiadaan fasilitas kesehatan di Wae Rebo, sedikit meresahkan saya. Namun setelah bercengkrama dan memeriksa masyarakat, saya sedikit lega. Kondisi kesehatan mereka bisa dibilang cukup baik.

Meskipun demikian, menurut saya keberadaan fasilitas kesehatan tentu akan membuat kualitas kesehatan lebih baik lagi. Malam semakin larut, saya pun menyerah pada kantuk.

Pagi harinya, usai berpamitan dengan warga Wae Rebo, saya melangkahkan kaki meninggalkan desa cantik ini.

Kira-kira lima belas menit jalan mendaki, saya menghentikan langkah dan membalik badan untuk melihat Wae Rebo dari kejauhan untuk terakhir kali. Sebuah senyum mengembang, bersama sebuah harapan. Harapan akan berlanjutnya harmoni indah antara manusia dan alam. Sebuah paduan yang indah dalam kesederhanaan, dan bisik hati yang selalu meruap ketika melihat warna hidup warga adalah kualitas kesehatan dan kehidupan yang semakin baik dari waktu ke waktu.

_______________________________Melalui program dokumenter, "Doctors Go Wild", Kompas TV mengajak dua dokter untuk mengeksplorasi berbagai tempat di pelosok Nusantara, melihat dan mempelajari berbagai tata cara serta keunikan pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat setempat.