Berjumpa Kembali Bersama Sang Maestro Kesayangan Dewa

By , Jumat, 19 September 2014 | 22:00 WIB

Sejumlah 70 mahakarya I Gusti Nyoman Lempad pada 1930-an hingga 1950-an kembali ke tanah asalnya di Ubud, Bali. Untuk pertama kalinya, mahakarya tersebut ditampilkan dalam sebuah pameran bergengsi bertaraf internasional pada 20 September hingga 24 November 2014 di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali.

Pameran yang bertajuk “Illuminating Line: master Drawings of I Gusti Nyoman Lempad” telah dipersiapkan selama delapan tahun. Pameran ini meminjam karya-karya Sang Maestro yang dimiliki berbagai museum, lembaga, dan perorangan di berbagai belahan dunia. Beberapa lembaga yang mengoleksi karyanya Lempad, seperti American Museum of Natural History, U.S. Library of Congress, Weltmuseum Wien di Austria, Nationaal Museum van Wereldculturen di Belanda, dan Danmuseet di Swedia.

"Lempad dan karyanya merupakan pusat misi museum dalam mempromosikan dan melestarikan seni lukis dan patung Bali dari masa Pita Maha hingga penerusnya," kata Soemantri Widagdo yang dikutip dari laman Museum Puri Lukisan. Soemantri merupakan kurator museum dan penyelenggara pameran ini. "Semua karya-karya Lempad melukiskan dengan mendalam tradisi kuno di Bali,” demikian lanjutnya, “meski dia merupakan seniman modern yang karyanya berkisah secara lugas untuk Bali dan dunia kini."

Agung Ngurah Muning—pengurus yang telah bekerja sejak Puri Lukisan di Ubud berdiri—menunjukkan ukiran perunggu yang menampilkan sosok I Gusti Nyoman Lempad. Ukiran berbahan perunggu dan berselaput emas tersebut merupakan karya seniman Heidi Hornberger dari California, AS. (Reynold Sumayku/NGI)

Lempad tinggal di Ubud sampai akhir hayatnya. Tampaknya dia lahir sekitar 1862—tidak ada catatan pasti soal tahun kelahirannya. Lempad merupakan anak dari seorang seniman tradisional yang melayani raja dari Bedulu di Kabupaten Gianyar. Sekitar 1870-an, keluarganya melarikan diri ke Ubud dan diberi suaka oleh Pangeran Tjokorde Gede Sukawati.

Di dalam naungan pengaruh keluarga ningrat, Lempad mengasah bakat seninya dalam arsitektur tradisi Bali, termasuk dalam seni pahat dan ukir. Tak hanya soal seni, Lempad juga memiliki pemahaman tentang ritual dan spiritual ketika mendirikan tempat suci.

Pada akhir 1920-an, Lempad mulai berkarya menggunakan media kertas. Dia masih menggunakan cara melukis tradisional, menggunakan kuas dan tinta hitam. Rudolf Bonnet dan Walter Spies mendukungnya dengan memberikan kertas seni kepada Lempad.

Bersama Bonnet dan Spies, dia turut mendirikan Pita Maha, sebuah kelompok seniman yang mendefinisikan ulang seni lukis Bali pada 1930-an. Kelak kelompok seniman tersebut menggelar pameran lukisan pertama mereka di Bali dan luar negeri, yang menjadi salah satu pemicu mengapa Bali mempunyai daya tarik untuk dikunjungi.

Film dokumenter yang berkisah tatkala Lawrence dan Lorne Blair mengunjungi sang maestro berusia 116 tahun, I Gusti Nyoman Lempad, di Ubud . Keduanya beruntung bisa mengabadikan Lempad jelang wafatnya. Sang maestro itu wafat pada hari yang dipilihnya sendiri.

Museum Puri Lukisan, sebagai museum seni lukis pertama di Bali dan tempat pameran mahakarya Lempad digelar, dibangun sekitar 1953-55. Bangunan museum tersebut merupakan salah satu hasil karya rancangan Lempad ketika berusia sekitar 90 tahun.

Sang maestro itu wafat pada Selasa 25 April 1978, dalam usia 116 tahun. Tampaknya Lempad mengetahui kapan dia akan wafat. Firasat jelang wafat, dia meminta keluarganya untuk memandikan dirinya. Dia telah memilih sendiri takdir kematiannya pada hari yang dianggap paling suci.

Dalam kalender Masehi—barangkali ini hanya kebetulan saja—Lempad wafat di hari Selasa ke-4 dan bulan ke-4 pada tahun tersebut.