Bencana, Takdir, Upaya Manusia

By , Senin, 29 Desember 2014 | 20:30 WIB

”Hidup sekali. Di tepi pantai mati, di gunung pun mati. Jika sudah takdir Allah, kita tidak bisa menolaknya. Kalaupun mati, saya memilih mati di sini. Di kampung halaman sendiri,” kata Hasan Saleh (39), korban tsunami Aceh 2004 yang kehilangan istri, dua anaknya, dan ibunya dalam bencana tahun itu.

Keyakinan tentang takdir itulah yang, menurut pengakuan Hasan, membuatnya memilih kembali berhuni di bekas rumah lamanya di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Selain keluarga inti, Hasan juga kehilangan 11 anggota keluarga besarnya.

”Keluarga saya yang tersisa hanya saya dan dua anak kakak. Hanya sedikit orang selamat dari tsunami di Alue Naga, mungkin tidak sampai sepersepuluhnya yang selamat,” katanya.

Namun, Hasan menegaskan bahwa ia tak jeri kembali tinggal di desa yang dikepung laut dan Krueng (sungai) Cut tersebut. Di rumah barunya, Hasan hidup bersama istri yang dinikahinya tahun 2006. ”Kalau terus memikirkan yang sudah meninggal, kita tidak akan bisa hidup lagi. Toh, hidup dan mati itu sudah ditakdirkan,” ucapnya.

Apakah tidak takut tsunami akan kembali datang dan merenggut keluarga barunya?

Dia lalu memberikan jawaban seperti pembuka tulisan ini. Jawaban bahwa hidup-mati merupakan takdir Tuhan seperti ini kerap terdengar dari orang-orang Aceh yang kembali berhuni di bekas tapak bencana.

Memang tak semua korban tsunami bersikap seperti ini. Beberapa korban tsunami tak mau lagi tinggal di tepi pantai dengan alasan trauma atau alasan-alasan lain yang lebih rasional, seperti kekhawatiran pada tsunami yang mungkin terjadi lagi.

Namun, kebanyakan korban tsunami di Aceh memang menginginkan kembali ke kampung halaman, tak lama setelah tsuami. Hasilnya, rumah-rumah baru pun tumbuh di sepanjang pesisir yang pernah dilanda tsunami, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Calang, hingga Meulaboh.

Tengku Bulqaini Tanjong, Sekretaris Jenderal Himpunan Ulama Dayah Aceh, memaknai fenomena kembalinya masyarakat Aceh ke tepi pantai berangkat dari keyakinan bahwa semua musibah atau kejadian itu takdir Tuhan.

”Kami bisa terima bencana dan kematian saudara dan keluarga. Sampai hari ini, kami masih juga membikin rumah di dekat laut. Padahal, ada imbauan dari pemerintah, kenapa? Itu sudah takdir Allah. Di mana pun takdir Allah, kami meninggal,” tuturnya.

Tak hanya di Aceh, kecenderungan kembali ke tapak semula dan lekas melupakan tragedi bencana jamak terjadi di Indonesia. Itu juga terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, setelah tsunami. Juga di Cilacap, Jawa Tengah. Tak butuh waktu lama, pantai yang semula porak-poranda kembali disesaki penduduk yang cenderung abai dengan risiko bencana.

Sejarah mencatat, pengosongan gunung-gunung api di Indonesia dari penduduk secara permanen selalu gagal. Sebagai contoh, seusai letusan dahsyat Gunung Galunggung pada 5 April 1982, pemerintah mentransmigrasikan warga di lereng gunung itu, tetapi kebanyakan warga memilih pulang kampung. Fenomena yang sama juga terjadi setelah beberapa kali letusan Merapi (Yogyakarta).

Bahkan, pemaksaan militer, seperti pernah dipraktikkan oleh pemerintahan Orde Baru di Pulau Makian, Ternate, pada 1970-an juga terbukti gagal.