Masyarakat Adat Punya Solusi Tangkal Laju Perubahan Iklim

By , Rabu, 24 September 2014 | 12:28 WIB

Masyarakat adat atau masyarakat lokal bisa memberi solusi guna memperlambat laju pemanasan global. Namun, kenyataannya, masyarakat adat justru sering kali tersisih dari hutan dan sumber daya hidupnya yang sebenarnya merupakan hak mereka.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menegaskan itu saat membuka Konferensi Dunia Masyarakat Adat (World Conference on Indigenous People/WCIP) sebagai rangkaian dari Sidang Umum PBB Ke-65, di Markas Besar PBB, New York, AS, Senin (22/9).

Pengelolaan hutan dan sumber daya di sekitar tempat hidup masyarakat adat bisa menjadi salah satu solusi pengendalian emisi karbon penyebab pemanasan global. Masyarakat adat memiliki keterikatan kuat dengan tanah airnya. Mereka memiliki kearifan dalam mengelola tanah, hutan, dan wilayah adatnya.

Mereka juga mampu menyelaraskan upaya mencapai kesejahteraan dengan tetap menjaga lingkungan.

Dunia bisa belajar dari masyarakat adat, kata Ban, seperti dilaporkan wartawan Kompas M Zaid Wahyudi, dari New York, AS, Selasa (23/9).

Masa depan tanah dan air global dalam isu perubahan iklim akan jadi "jantung" Pertemuan Puncak Iklim PBB (UN Climate Summit) 2014, Selasa.

Yang terjadi kini, masyarakat adat dan lokal di berbagai belahan dunia masih mengkhawatirkan hak mereka atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang seharusnya menjadi milik mereka. Mereka juga disisihkan dari pembangunan global. Sementara hutan yang rusak akibat aktivitas ekonomi ekstraktif kian mendorong pelepasan gas karbon.

Data PBB, setidaknya ada 5.000 kelompok masyarakat adat/lokal di 90 negara dengan jumlah warga mencapai 5 persen penduduk dunia atau sekitar 370 juta jiwa.

Suara pemimpin

Perempuan dan anak-anak suku Ashninka berkumpul di permukiman terpencil di Nueva Bella. Pembalak jahat membidik masyarakat seperti ini, mengambil kayu dengan harga semurah-murahnya dan mencuri mahoni dari tempat perlindungan terdekat. Kisah mengenai mahoni dan pergelutannya di Peru dalam NGI April 2013. (Alex Webb)

Presiden Bolivia Evo Morales, pembicara pertama pada konferensi itu, mengatakan,

"Perubahan iklim akan jadi persoalan serius bagi Bumi dan manusia. Karena itu, langkah terbuka, saling mendukung dan saling melengkapi dengan masyarakat adat diperlukan agar harmoni dengan alam tetap terjaga," tuturnya.

Konferensi yang dihadiri masyarakat adat dan lokal dari berbagai benua itu membuahkan Dokumen Hasil (Outcome Document) sebagai upaya implementasi Deklarasi PBB tentang Hak- hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) tahun 2007.

Negara dituntut melakukan sesuatu yang lebih besar untuk menerjemahkan dokumen itu agar jadi kenyataan. Negara juga dituntut menunjukkan tekad mengatasi kesenjangan yang dialami masyarakat adat, kata Presiden Sidang Umum PBB Sam Kahamba Kutesa.

Saat ini, sejumlah lembaga pemerintah di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sudah menjalankan program untuk mengakui dan mengukuhkan hak masyarakat adat. Contohnya, pengukuhan kawasan hutan, Peta Manunggal (One Map), moratorium izin eksploitasi hutan dan lahan, serta Program Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan Penurunan Emisi dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan (REDD+).

Koordinator JKPP Kasmita Widodo, Deputi V Kepala UKP4 T. Nirata Samadhi, Sekjen AMAN Abdon Nababan, dan moderator Wimar Witoelar dalam Konferensi Pers Deklarasi Dukungan Keputusan MK Mengakui Hutan Adat, Senin (27/5/2013).

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, dari 116 juta hektare potensi wilayah adat Indonesia, 42 juta ha hutan alam kondisinya sangat baik. Jika keberadaan hutan itu tetap dijaga, akan ada 43 giga ton karbon dioksida yang berhasil ditahan untuk lepas. "Itu sangat mencukupi untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon pemerintah," tuturnya.

Di New York, sekitar 70 pemimpin negara, pengusaha, dan kalangan masyarakat sipil akan berbicara di muka Sidang Umum PBB terkait komitmen mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Rabu (24/9) dini hari, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan berbicara tentang hutan di hadapan forum tersebut.

Kemarin, di Jakarta, lebih dari 40 organisasi masyarakat sipil dan lingkungan mengirim surat permohonan kepada SBY agar menolak rencana yang bisa menghancurkan Kawasan Ekosistem Leuser yang berpotensi melepas emisi karbon secara masif. (Baca di sini)

Sementara itu di Kalimantan Tengah, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng merekomendasikan penghentian pemberian izin baru bagi perusahaan tambang dan perkebunan. Izin yang ada dikaji ulang. Menurut Kepala Bidang Pemulihan Kerusakan Lingkungan BLH Kalteng Humala Pontas, pihaknya berkoordinasi dengan dinas teknis dan bersama AMAN memperkuat posisi terhadap hutan adat.