Dalam serial Squid Game ini, banyak penonton yang ikut bersimpati pada orang-orang miskin yang terpaksa ikut permainan mengerikan itu demi melunasi utang mereka. "Orang-orang dapat mengidentifikasi dengan perasaan seolah-olah mereka bukan kelas penguasa, tetapi yang kelas bawah atau tertindas," ujar Eric Bender, seorang psikiater anak, remaja, dewasa, dan forensik, seperti dikutip dari Bustle.
Grace Jung, lulusa UCLA dengan gelar PhD dalam Studi Film dan Media, menjelaskan bahwa di bawah kapitalisme, imbalan yang dijanjikan untuk investasi waktu dan uang —dari pinjaman sekolah hingga magang yang belum dibayar hingga hipotek— tidak pernah berpihak untuk orang-orang yang berpenghasilan rendah.
"Itu adalah resonansi besar [dari Squid Game]," kata Jung. "Utang membuat semua orang merasa rentan dan cemas dan putus asa."
Keputusasaan adalah hal yang mendorong para peserta Squid Game untuk bersaing. Meskipun mereka diberi pilihan untuk meninggalkan permainan di awal pertunjukan, mereka semua akhirnya kembali memutuskan tetap melanjutkan permainan karena menyadari bahwa mengais di dunia nyata tanpa cara yang layak untuk keluar dari kemiskinan mungkin lebih buruk daripada mempertaruhkan kematian untuk mendapatkan hadiah yang bisa mengubah hidup mereka.
Baca Juga: Adanya Bias Mengerikan Membuat Kita Meremehkan Rasa Sakit Orang Miskin
Dari perspektif ini, kebrutalan dalam Squid Game justru menambah elemen ketegangan yang memicu adrenalin. "Kekerasan itu benar-benar memberi tanda seru pada elemen perjuangan manusia," kata Praveen Kambam, seorang pskiater anak, remaja, dan forensik.
"[Itu] menunjukkan seberapa jauh orang-orang ini bersedia untuk pergi … Mereka lebih suka menanggung tingkat kekerasan ini, atau kemungkinan kekerasan, daripada berurusan dengan sistem di luar permainan."
Selain mengeksplorasi sisi psikologis manusia yang mudah cemas dan putus asa saat memiliki utang menumpuk, Squid Game juga memiliki format permainan yang mengerikan yang menambah daya pikat serial ini. Membandingkan keluguan permainan masa kanak-kanak dengan pengetahuan bahwa sesuatu yang sadis akan terjadi, telah menciptakan disonansi kognitif yang "memperkuat kengerian dan rasa ketidakberdayaan" yang kita rasakan saat menonton, ujar Pamela Rutledge, seorang psikolog media.
Hal lain yang menjadi daya tarik dari Squid Game dari sisi psikologis adalah adanya harapan dalam diri tokoh-tokohnya. Melihat para kontestan bertahan dari permainan melelahkan yang brutal, dapat membuat perjuangan kita sendiri tampak mungkin untuk diatasi, menurut Pamela Rutledge.
Baca Juga: Dalam Enam Bulan 10 Juta Orang Terpaksa Mengungsi karena Bencana Iklim
Hidup yang di Luar Kendali
Eric Bender menambahkan bahwa ketika dia melihat anak-anak dalam terapi, jelas bahwa mereka "tidak mengendalikan hidup mereka." Jadi ketika kita melihat orang-orang dewasa yang dipaksa untuk memainkan permainan anak-anak, itu seperti meja diputar dan "tiba-tiba mereka adalah anak-anak yang tidak memegang kendali."
Serial ini juga mengambil premis ketidaknyamanan kuno dalam permainan anak-anak. "Ada seseorang yang ditinggalkan, seseorang yang tidak memiliki tempat duduk ketika musik berhenti, seseorang yang dibuat merasa seolah tidak melakukan pekerjaan dengan cukup baik," ujar Bender.
Squid Game menangkap perasaan yang menyiksa itu dan memainkannya dengan cara yang semakin cerdas. Dan apakah wahanan permainan itu jika bukan mikrokosmos dunia bisnis yang kejam di bawah kapitalisme?