Inspirasi Geografi dalam Perjalanan Udara Menuju Flores

By , Senin, 29 September 2014 | 20:26 WIB

Siang itu, cuaca begitu panas. Sinar matahari terasa terik, hingga kita perlu memicing mata saat memandang keluar.

Bandar udara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, Bali baru selesai berbenah. Cahaya matahari yang masuk melalui koridor dan kaca jendela seolah menegaskan kilau renovasi yang memakan biaya lebih dari tiga triliun rupiah. (Baca juga kabar renovasi bandara I Gusti Ngurah Rai di sini).

Sembari menunggu penerbangan lanjutan ke Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, saya melihat-lihat wajah baru bandara internasional itu. Selain menunjukkan kemegahannya, bangunan baru bandara memang ditujukan untuk melayani wisatawan hingga 25 juta orang per tahun. Tiap sudutnya terus dipercantik. Ada yang dihiasi dengan karya ilustrasi, ada pula yang dipasangi layang-layang khas Bali (Ini terlihat pada bagian keberangkatan domestik).

Pesawat jenis ATR72 seri 600 milik maskapai penerbangan Wings Air yang membawa perjalanan udara menuju Ende di Pulau Flores. (Bayu Dwi Mardana)

Setelah berkeliling bandara udara, waktu memasuki pesawat yang akan membawa saya ke Ende tiba. Saya akan menggunakan jasa Wings Air, dari Lion Group, yang mengoperasikan pesawat jenis ATR72 seri 600. Pesawat berbaling-baling ini rencananya akan terbang di ketinggian sekitar 14.000 kaki.

!break!

"Penerbangan kita menuju Labuan Bajo akan ditempuh selama satu jam empat puluh menit," pramugari mengabarkan rencana perjalanan udara siang yang terik itu. Tak berapa lama, pesawat baling-baling itu mengudara.

Mata saya terasa diberi beban berat. Saya sekuat tenaga menahan kantuk. Maklum, penerbangan pertama saya dari Jakarta menuju Denpasar ditempuh dengan pesawat pertama. Jadi, bersiap dari tempat tinggal sebelum subuh.

Jalan tol Bali dilihat dari udara. (Bayu Dwi Mardana)

Nyaris tertidur, tiba-tiba mata saya terbelalak. Pesawat yang mengarah ke timur mulai melintasi langit Bali, yang menyajikan lanskap unik: jalan tol atas laut, tutupan mangrove, sungai, pesisir yang padat, kawasan terumbu, hingga pucuk gunung api nan gagah. (Baca juga polemik soal jalan tol Bali melalui tautan ini)

Kumpulan awan putih belum lagi banyak. Akibatnya, saya dengan mudah menjepretkan kamera Samsung NX300 dengan lensa 18 – 55 mm. Kamera saku ini boleh menjadi andalan para pejalan. Ringan dan tangguh. Saya pun memilih fungsi A (Aperture) dan pengaturan fokus otomatis. (Baca kajian kamera Samsung NX300 melalui tautan ini)

Setelah melintasi tol laut, panorama Bali berganti. Pesisir dengan pasir putih, diselingi wilayah permukiman yang memadat, kontur pegunungan semakin jelas hingga Puncak Gunung Agung yang menyembul ke langit. Gumpalan awan putih menambah indah lanskap gunung api ini. (Sungguh beruntung kita hidup di kawasan Cincin Api, kisah ini baca selanjutnya di sini).

!break!

Puncak Gunung Agung menyeruak ke langit. Pendakian gunung ini menjadi salah satu tujuan para pendaki dan pejalan di Indonesia. (Bayu Dwi Mardana)

Melihat kontur Gunung Agung, saya hanya dapat bergumam, mengingat masa pendakian gunung pada tahun 1997. Ketika itu, saya tersengal-sengal, lantaran memburu puncaknya yang eksotis. Rupanya, kontur itu curam dan langsung menghujam ke kawasan pesisir, yang berbataskan air laut. Nah, pertanyaannya, apakah saya masih sanggup mengulangi pendakian asyik itu pada masa sekarang? (Tertarik menemani saya mendaki kembali gunung suci itu, Sahabat?)

Lepas dari Bali, pesawat saya melintasi Selat Lombok. Ingatan saya kembali ke tahun 1996. Ketika itu, saya bersama dua rekan kampus berencana mendaki titik tertinggi ketiga di Indonesia: Rinjani. Gunung api tertinggi kedua ini ada di Pulau Lombok.

Berkantong mahasiswa (yang sudah pasti bisa ditebak isinya alias cekak!), kami melakoni perjalanan heroik dari Bogor, Jawa Barat. Menumpang kereta ekonomi hingga Surabaya, bersambung kereta arah timur menuju Banyuwangi, dan lanjut terus dengan bus ke Denpasar. Dari situ, kami memilih bus ke Mataram, Lombok. Nah, dalam perjalanan itu, kami harus melintasi Selat Lombok dengan kapal penyeberangan selama enam jam. Kalau cuaca sedang buruk, gelombang selat bisa bikin kita mabuk!

Kini, selat itu saya lintasi dalam hitungan menit saja. Asyik, kan?

(Apabila ingin tahu kisah pendakian Rinjani, Yunaidi fotografer National Geographic Indonesia membagikan pengalaman pendakiannya di sini).

!break!

Kalau selat sudah dilintasi, tentu panorama selanjutnya (dan yang ditunggu-tunggu) adalah si gunung gagah, Rinjani. Yeah. Saya yang hampir melewatkan pemandangan ini langsung berbinar. Samsung NX300 segera memuaskan hasrat fotografi saya. Kawasan puncak dan sebagian lekuk kontur si gunung yang khas itu terlihat jelas. Puncak yang pernah dua kali saya kunjungi itu kini saya lihat dari udara, dengan jelas. Wow!

Lombok terlewati. Pelajaran geografi berikutnya Pulau Sumbawa.

Apa yang menarik dengan kontur Sumbawa?

Puncak Gunung Tambora yang legendaris. Sayangnya, puncak itu terselimuti gumpalan awan dalam perjalanan udara Denpasar - Labuan Bajo. (Bayu Dwi Mardana)

Ah, tentu saja. Gunung Tambora yang membuat heboh dunia dengan letusannya yang maha dahsyat menjadi ikon paling ditunggu untuk saya abadikan. (Kisah tentang letusan Tambora dan Gempa dahsyat mengguncang Sumbawa pada minggu kedua April 1815 dapat dibaca di sini).

Pada 1997, saya mencoba mendaki Tambora hingga puncaknya. Perjalanan yang bermula dari Desa Pancasila, di salah satu sudut Sumbawa itu memberikan kenangan berharga. Mulai dari kawan baru, pengalaman baru, hingga daftar puncak gunung yang berhasil didaki.

Yang saya sesali, saat terbang melintasinya, kawasan puncak Tambora tak terlampau terlihat dengan jelas. Gumpalan awan menutupinya. Foto yang ada di sini, rasanya tak terlalu pantas saya banggakan. Tetapi, tak ada salahnya saya bagikan, bukan?

Lantas, lepas dari Sumbawa apakah panorama gunung api telah usai?

Tidak. Saya justru terheran-heran dengan gunung soliter yang mencuat dari lautan. Di bagian pucuknya, asap putih membubung ke langit. Saya pun mencoba meminta bantuan audiens akun Twitter @NGIndonesia untuk mengidentifikasinya. Beberapa follower mencoba memberikan jawaban: Sangeangapi.

Gunung api Sangeangapi di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini pada 30 Mei 2014 memuntahkan abu vulkanik yang sempat menyelimuti kota Labuan Bajo di Flores, Nusa Tenggara Timur. (Bayu Dwi Mardana)

Saya lantas berkorespondensi dengan kartografer National Geographic Indonesia, Sony Warsono (@SonyAlonso) untuk memastikan gambar gunung api itu. Dan, ia memberikan jawaban yang tak terbeda.

Gunung api Sangeangapi di berada di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini sempat membuat repot para pejalan yang terlanjur berada di Labuan Bajo dan sekitarnya (termasuk yang baru pulang dari Pulau Komodo). Sebab, pada 30 Mei lalu, perut gunung ini memuntahkan abu vulkanik, yang membuat kota Labuan Bajo tertutupi materi itu. Penerbangan pun dibatalkan. (Kabar soal meletusnya gunung dapat dibaca di sini).

Buat saya, perjalanan udara dari Denpasar – Labuan Bajo – Ende ini banyak memberikan inspirasi geografi. Petualangan mata dan ingatan terhadap kemampuan ilmu bumi menjadi bumbu yang sedap–sekaligus mencerahkan.

Yang juga menarik, beragam nusa kecil selepas Bali itu menyuguhkan lanskap yang khas dan...indah! Tentunya, amatlah menarik apabila kita jelajahi melalui darat. Tak terbayangkan petualangan Sepasang penjelajah asal Amerika bertutur tentang Nusantara, yang tengah bertahan dan mencari jati diri sebagai sebuah bangsa. Penjelajahan tahun 1962 yang menyusuri Bali hingga Nusa Tenggara Timur itu memberikan kekayaan pengalaman batin yang tak terkira. Yang unik, mereka menempuhnya dengan mobil amfibi yang dirancang khusus untuk menyeberangi lautan dalam. (Kisah lengkapnya ada di sini).

Jadi, sebagai penjelajah, kita tak akan menyepelekan ilmu bumi dan geografi, kan?