Kehidupan Para Eksil

By , Selasa, 30 September 2014 | 11:00 WIB

Lelaki itu berjalan keluar flatnya, menyapa beberapa tetangga, menaiki tram dan turun di Centraal Station, Amsterdam. Dari sana ia berjalan di antara orang-orang kaukasia yang bergegas-gegas, untuk melanjutkan perjalanan ke Leiden, menghadiri sebuah diskusi. Garis-garis senja tertera di wajahnya.

Itulah sekelumit aktivitas dari sejumlah pria yang tak lagi muda, menghabiskan hari-harinya di Amsterdam, Belanda. Mereka menyimpan sejarah panjang di balik kehidupan sehari-harinya yang tampak biasa-biasa saja.

Tiga pria yang saya temui di Belanda itu adalah Chalik Hamid, Ibrahim Isa, dan Sarmadji. Sedikit dari ratusan orang eksil 65 di Belanda yang mau terbuka tentang kisah hidupnya.

Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan Soekarno pada 1964. Pada masa itu, lewat jargon politik Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) dan dengan cita-cita mempunyai bangsa yang berdikari di bidang ekonomi, pemerintah RI melakukan kerja sama dengan negara asing untuk mengirim orang-orang muda Indonesia bersekolah di luar negeri dengan berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra. Cita-cita Soekarno pada masa itu adalah menjadikan pemuda-pemuda ini sebagai tenaga ahli, sehingga menjadi sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah sumber daya alam Indonesia kelak.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa itu sejalan dengan Uni Soviet, yaitu antiimperialisme. Sementara itu, Indonesia juga sedang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok karena kedua negara sedang membangun kekuatan yang tidak bergantung pada Blok Barat dan Blok Timur. Oleh karena itu, beberapa negara yang menjadi negara tujuan studi antara lain negara-negara sosialis yang terletak di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, serta Tiongkok. Pelaku sejarah menyebutkan sekitar 1.500 orang dikirim ke negara-negara di Eropa Timur.

Pada masa itu, pemerintah Indonesia juga sedang gencar membangun hubungan baik dengan dunia internasional. Maka pada 1965, pemerintah mengirim sejumlah delegasi untuk menghadiri sejumlah konferensi di negara-negara sosialis, antara lain ke Tiongkok untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok yang jatuh pada 1 Oktober.

Narasi sejarah orde Baru menyebutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan upaya kudeta dengan melakukan pembunuhan terhadap enam jenderal pada 1 Oktober 1965. Kenyataan sejarah tersebut masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Namun, pada 1965-1966, jutaan orang Indonesia menjadi korban, dalam pengertian menjadi korban pembunuhan, korban fisik, yaitu mereka yang ditangkap dan ditahan atas tuduhan menjadi bagian dari komunis, dan korban mental atau psikis, karena setelah mereka dicap sebagai komunis mereka sulit mendapat pekerjaan, harus menjalani bersih diri dan bersih lingkungan, bahkan berimbas kepada anak-anak mereka.

Eksil 65 adalah mereka yang pada masa itu berada di luar Indonesia untuk belajar atau menjadi delegasi negara untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi di negara-negara sosialis. Keseluruhan peristiwa tersebut berlangsung dalam konteks perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat.

Setelah orde baru berkuasa, para pelajar dan delegasi yang masih berada di luar negeri yang tidak mengakui pemerintahan Soeharto dianggap sebagai komunis. Pemerintah Indonesia pada masa itu mencabut paspor mereka. Kalaupun ada yang berhasil kembali ke Indonesia, mereka sudah ditunggu di bandara untuk ditangkap dan diinterogasi oleh pihak militer.

Bertahun-tahun, para eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil.

Pada 1980-an, sebagian dari mereka bermigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda. Mereka pun kemudian melamar menjadi warga negara Belanda. Karena rata-rata para eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para eksil ini sejatinya warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia merdeka, atau masih dianggap lahir di wilayah Nederlandsch-Indische. Tidak ada data yang pasti mengenai eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para eksil ini sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tempat asal mereka, Indonesia. 

Para eksil 65 hingga kini berharap pemerintah Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan sejarah. Mereka tidak muluk-muluk berharap mendapat kompensasi materi atas penderitaan mereka karena tragedi 1965 memakan terlalu banyak korban. Yang mereka harapkan hanyalah permintaan maaf.

SARMADJI