Kehidupan Para Eksil

By , Selasa, 30 September 2014 | 11:00 WIB

Sarmadji sudah berprofesi sebagai guru saat ia dikirim ke Tiongkok untuk belajar tentang pendidikan anak di luar sekolah pada 1965. Setelah kejadian 30 September 1965, Sarmadji dituduh menjadi bagian dari komunis karena ia mengaku sebagai Soekarno-is. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil paspornya dan ia tidak dapat kembali ke Indonesia.

Sarmadji tinggal di Tiongkok hingga ia berusia 45 tahun. Pada saat itu, ia memutuskan untuk pindah ke Belanda. Ia kemudian diterima sebagai warga negara Belanda, namun ia diharuskan untuk bekerja. Di usia yang tidak muda lagi, Sarmadji pun mencari pekerjaan dan diterima sebagai buruh pemotong kaca di sebuah perusahaan. Di perusahaan itu pula ia bertemu dengan orang-orang Suriname yang pandai berbahasa Jawa. Oleh teman-teman Surinamenya itu pula, Sarmadji diminta untuk mengajarkan cara menulis dalam bahasa Jawa.

Dalam pergulatannya melawan orde baru, Sarmadji kemudian membuat Perkumpulan Dokumentasi Indonesia atau disingkat Perdoi. Perdoi memuat kumpulan arsip dan dokumentasi tentang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan tragedi 65/66. Sekarang sekitar 20 orang Indonesia menjadi relawan untuk menjalankan perpustakaan tersebut. Perdoi dapat diakses oleh publik umum jika ada yang orang yang memerlukan data atau arsip yang berkaitan dengan sejarah 1965. Sarmadji bahkan bersedia memfotokopi beberapa dokumen jika ada yang membutuhkan.

Pria asal Solo yang kini berusia 83 tahun tersebut tidak menikah dan berketurunan. Selain mengurus Perdoi, Sarmadji dengan sukarela membantu mengurus cucu dari keluarga temannya, yang bahkan sudah ia anggap sudah seperti cucu sendiri. Sarmadji percaya untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan hal itulah yang tetap membuat Sarmadji bertahan.

IBRAHIM ISA

Ibrahim Isa tinggal di Kairo sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization) pada tahun 1960-1966. Pada Januari 1966, ia berbicara mengenai kondisi politik Indonesia mengenai apa yang terjadi pada Oktober 1965 dalam Konferensi Solidaritas Rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (Tricontinental Conference) yang berlangsung di Kuba. Setelah ia berbicara di konferensi tersebut, paspornya dicabut dan pria asal Minang itu pun menjadi eksil. Lewat surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yuda, pemerintah Indonesia yang pada saat itu diambil alih oleh militer menyatakan bahwa Isa adalah agen Gestapu dan harus digantung.

Di Kuba, Isa mendapat perlindungan dari pemerintah Kuba. Kemudian atas saran sejumlah rekan, ia pergi ke Tiongkok demi keselamatan dirinya. Pada saat yang bersamaan, Isa mendapat informasi bahwa istri dan ketiga anaknya yang pada saat itu masih berdomisili di Kairo akan ditangkap militer untuk memaksa Ibrahim Isa kembali ke Jakarta. Dengan bantuan sejumlah teman, istri dan ketiga anaknya dapat menyusul Isa ke Tiongkok. Mereka sekeluarga tinggal di Tiongkok selama 11 tahun. Isa memutuskan untuk ke Belanda pada November1987 dan meminta suaka politik. Isa kemudian menjadi warga negara Belanda dan tinggal di Amsterdam hingga kini.

Namun pria kelahiran Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta) pada 20 Agustus 1930 itu tidak pernah melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ia masih memantau berbagai kondisi di Indonesia lewat pemberitaan media, dari hal-hal umum hingga perkembangan politik di Indonesia. Isa menuangkan berbagai pemikirannya tentang Indonesia lewat tulisan. Isa menulis sebuah memoar Kabar dari Negeri Seberang dan Bui Tanpa Jerajak Besi. Lewat tulisan-tulisannya itulah Isa mencoba melawan lupa.

CHALIK HAMID

Chalik Hamid adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) atau organisasi sayap kiri yang berkonsentrasi di bidang seni dan budaya. Pemerintahan Soekarno mengirim Chalik ke Albania pada awal tahun 1965 untuk belajar sinematografi. Setelah pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, paspor Chalik dicabut sehingga ia tidak bisa pulang atau kembali ke Indonesia. Karena tak punya identitas legal sebagai warga negara, Chalik pun tidak dapat melanjutkan studinya dan kemudian bekerja sebagai montir di sebuah pabrik mobil, jauh berbeda dari apa yang ia pelajari di universitas.

Saat Chalik menjadi eksil pada masa itu, istri yang ia tinggalkan di Indonesia kemudian ditangkap dan ditahan. Usaha surat menyurat ia lakukan untuk tetap berhubungan dengan keluarga di Indonesia. Ia kembali ke Indonesia pertama kali pada tahun 1995, saat itu ia sudah menikah dan mempunyai kehidupan baru dengan perempuan Albania, sementara istri pertamanya pun sudah mempunyai suami baru.

Pada tahun 80-an itu, Albania pun mengalami krisis ekonomi, kemudian Chalik pindah ke Belanda pada akhir tahun 1989. Ia pun kemudian menjadi warga negara Belanda. Pria asal Sumatra Utara tersebut menikah lagi dengan seorang perempuan dari Indonesia dan menjalani masa tuanya di kawasan Amsterdam Utara. Ia aktif menulis di milis, dan masih menulis sajak, serta menjadi redaktur di kalangan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI).