Pada sebuah sudut di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, pegiat dari Rumah Cemara, Jeri Perganta, menghampiri beberapa pecandu yang sedang meriung. Mereka berteduh di bawah pohon rindang, menghindari sengatan matahari.
Berbeda dengan rekannya yang memilih pemulihan, para pemadat ini memilih solusi lain: terapi Methadone. Tidak semua pecandu memilih rehabilitasi untuk pulih.
Rehabilitasi memang butuh pengorbanan besar. Saat masuk rehabilitasi, saat itu pula seorang pecandu harus putus dari narkoba. Ini perubahan drastis: ketagihan mendera dengan rasa sakit yang mengoyak tubuh—sakau.
Tentu saja pemulihan adalah jalan utama yang ditawarkan kepada pecandu. Bila tidak ingin rehab, terapi Methadone menjadi pilihan terakhir.
Jeri bertugas sebagai manajer kasus untuk terapi Methadone yang menjembatani para pecandu dengan petugas Klinik Program Terapi Rumatan Methadone di Rumah Sakit hasan Sadikin “Misalnya saja, ada teman yang ingin turun dosis, saya akan membantu menghubungkan dia dengan petugas terapi,” jelas Jeri.
Methadone adalah zat sintetik yang bisa digunakan sebagai pengganti narkoba. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Methadone termasuk narkotika golongan dua, yang berarti berkhasiat untuk pengobatan.
Dengan mengikuti terapi ini,pecandu akan mengonsumsi Methadone, disertai konseling dan layanan medis, untuk mengobati kecanduan heroin (putaw).
Harapannya, dosis Methadone akan diturunkan perlahan, yang akhirnya pemadat pulih.
!break!Pilihan antara rehab dengan terapi Methadone sepenuhnya berada di tangan pemadat. Bila tidak memilih keduanya, Jeri menjelaskan, “Ada dua pilihan lain: kuburan atau tertangkap polisi.”
Selain bisa memutus kecanduan, cara ini juga menghindarkan pecandu dari risiko tertular HIV—dan hepatitis. Putaw memang dimasukkan ke tubuh dengan jarum suntik yang biasanya digunakan bergantian. Dari situ, virus mematikan tersebut menular.
Sementara itu, Methadone dikonsumsi dengan cara diminum, sehingga pecandu tidak lagi memakai jarum suntik. Lantaran itulah, terapi ini juga tercakup dalam program penanggulangan HIV/ AIDS.
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa pada 2006 penularan HIV/AIDS di Indonesia paling banyak terjadi di antara pengguna narkoba suntik (penasun).
Dan semenjak 2007, pemerintah berupaya mengurangi dampak buruk penularan virus HIV melalui jarum suntik. Program ini, salah satunya, berupa pemberian alat suntik steril untuk memutus menjalarnya HIV di kalangan penasun.
Pada saat yang sama, upaya itu diiringi dengan terapi Methadone, agar pecandu lepas dari jeratan narkoba.
Sampai saat ini, Jeri mendampingi 56 orang yang menjalani terapi Methadone. “Dari jumlah itu, baru dua orang yang telah sembuh,” kata lelaki berwajah tirus ini. Jeri menambahkan bahwa sebagian besar pecandu masih belum bisa lepas dari Methadone.
Namun upaya membantu meningkatkan kualitas hidup para pecandu terus dilakukan.
“Setiap tiga bulan Rumah Cemara melakukan program dukungan psikososial,” tambah Jeri, yang juga mantan pemandu dan mengidap HIV.
Dalam program ini, para pemadat yang telah mengikuti terapi Methadone selama tiga bulan lebih akan mengikuti konseling dari Rumah Cemara. Harapannya, dukungan psikososial bisa mendorong pecandu lepas dari jeratan narkoba.
Soalnya, sampai kini dampak buruk pengguna narkoba suntik tetap membekas. Tanpa sadar, tidak sedikit keluarga terdekat dari penasun tertular HIV: istri, suami, dan anak-anaknya.