Kedua orang tuanya mewariskan darah seni kepada Roekiah. Mereka merupakan aktor dan aktris dalam Opera Poesi Indra Bangsawan. Bagaimana tidak, Roekiah telah menekuni dunia hiburan dalam usia yang sangat muda. "Ia berkeliling Jawa bersama orang tuanya, pergi dari grup ke grup dan venue ke venue," tambahnya. Menggambarkan sosok Roekiah yang tak mengenyam pendidikan formal seperti anak seusianya karena kesibukannya.
Sejak 1924, ia telah diizinkan oleh Ningsih (ibunya), untuk melakukan konser tunggal. Tak diduga-duga, Roekiah naik ke atas panggung dan mulai bernyanyi. Mewarisi bakat vokal sang ibu, Roekiah mendapat apresiasi besar dari penonton.
"Roekiah sejatinya memiliki cita-cita besar untuk menjadi aktris, namun tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya," lanjutnya. Ia akhirnya menolak makan sampai orang tuanya mengalah dan memberi restu kepada Roekiah, untuk memulai karirnya sebagai aktris.
Pada 1932, ia bergabung dengan Opera Palestina di Batavia, di sana ia bertemu dengan pria yang kelak menjadi suaminya, Kartolo, seorang priyayi Jawa yang menulis dan memainkan musik untuk grup operanya. Mereka menikah saat Roekiah berusia 15 tahun.
Baca Juga: Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan
Karir Roekiah dan suaminya melejit, membuatnya sohor hingga ke luar negeri. Mereka tampil bersama Opera Farokah di Singapura, sebelum akhirnya kembali ke Hindia-Belanda pada 1936, untuk fokus dalam mengurus dua buah hatinya.
Roekiah dan Kartolo akhirnya memutuskan kembali ke dunia hiburan. Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat (ANIF) sedang melakukan casting untuk film Terang Boelan, yang akan disutradarai oleh Albert Balink dan direkam oleh Joshua dan Othniel Wong.
"Roekiah tampil sebagai pemeran utama wanita, memerankan Rohaya, sementara Kartolo mendapat peran pendukung sebagai Dullah," lanjut Woodrich. Keduanya menjadi bagian dari produksi film di era Hindia-Belanda.
"Film ini meraih kesuksesan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terang Boelan mencatatkan rekor sebagai film box office di Hindia-Belanda, yang sulit dipecahkan dalam industri film dalam negeri, sampai Krisis pada tahun 1953," tulis Anwar Rosihan dalam bukunya berjudul Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, terbitan tahun 2004.