Di tengah kekhawatiran melemahnya fungsi perlindungan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipandang bisa memprioritaskan pemulihan dan perlindungan lingkungan. Hal itu sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk memperkuat kelembagaan lingkungan hidup.
Penggabungan dua kementerian ini akan mengarah pada pengamanan lingkungan hidup yang lebih kuat asal menteri bisa menerjemahkan kemauan dan pengarahan Presiden, ujar Ketua Institut Indonesia Hijau Chalid Muhammad. Hal senada disampaikan mantan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman dan Direktur Eksekutif Greenomics Elfian Effendi, di Jakarta, Rabu (29/10).
Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pemerintah berwenang melakukan penegakan hukum lingkungan. Masnellyarti mengatakan, penggabungan institusi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan membuat level KLH naik dari kelompok C ke kelompok B. Hal itu berdampak pada kewenangan dan rentang kendali hingga ke daerah menjadi lebih kuat.
Diharapkan kondisi itu semakin mengefektifkan implementasi UU PPLH. Senada dengan itu, Chalid menyatakan, Selama ini, UU PPLH tidak efektif karena KLH, sesuai UU No 39/2008, masuk rumpun tiga (c) kementerian. Jadi, perlu kementerian portofolio yang ada di rumpun dua supaya UU No 32/2009 jalan. Itu terpenuhi oleh (Kementerian) Kehutanan.
Di sisi lain, ujar Chalid, Kementerian Kehutanan selama ini abai soal lingkungan hidup. Jadi, perlu intervensi perspektif lingkungan hidup. Menurut dia, peran kuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus diterjemahkan dalam struktur lembaga dan program kerjanya.
Konflik kepentingan
Salah satu sorotan atas penggabungan dua kementerian itu ada pada konflik kepentingan. Sesuai peraturan, izin usaha kehutanan berupa hutan tanaman industri, restorasi ekosistem, ataupun hutan alam membutuhkan izin lingkungan. Kedua jenis izin tersebut kini berada di tangan Menteri LHK.
Akibat penggabungan ini, setiap izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk izin pelepasan kawasan hutan, akan sangat mudah mendapatkan izin lingkungan, kata Elfian Effendi.
Secara khusus, penggabungan itu dikhawatirkan melemahkan fungsi pencegahan dan penegakan hukum atas kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang diamanatkan UU PPLH.
Dikonfirmasi mengenai potensi konflik kepentingan yang besar itu, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, perizinan memiliki fungsi pengendalian. Pengawasan perizinan dalam konteks pengendalian, bukan hanya administratif, kata Siti seusai serah terima jabatan dengan Menteri Lingkungan Hidup Kabinet Indonesia Bersatu II Balthasar Kambuaya.
Acara tersebut dihadiri para mantan menteri lingkungan hidup, seperti Emil Salim, Sarwono Kusumaatmadja, dan Rachmat Witoelar.
Menurut Siti, pengawasan atas izin-izin yang diterbitkan harus dilakukan petugas dan aparat pemerintah secara langsung di lapangan dengan biaya negara. Harus terlihat di ruang publik bahwa izin itu tidak identik dengan transaksi. "Tidak boleh seperti itu," ucapnya.
Sementara itu, disinggung tentang beberapa pernyataannya yang hendak mempermudah penerbitan izin lingkungan, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri itu mengatakan, penggunaan atau pemanfaatan lanskap membutuhkan persyaratan mutlak.