“Dipanagara diperbolehkan untuk salat di suatu tingkat benteng kecil Belanda, salat magrib pertama baginya sebagai seorang pengasingan,” ungkap Peter B.R. Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Buku tersebut terbit pertama kali pada 2007, kemudian disusul oleh edisi dalam bahasa Indonesia yang terbit pada 2012—sebuah mahakarya atas penelitian yang dilakukan Carey sekitar 40 tahun terakhir.
Dua perwira, Mayor François Vincent Henri Antoine ridder de Stuers (1792-1881) dan Kapten Johan Jacob Roeps (1805-1840), menjadi pengawal yang selalu mengawasi Sang Pangeran sejak dari Magelang. De Stuers merupakan ajudan dan sekaligus anak menantu De Kock. Sementara Roeps merupakan perwira Belanda yang fasih berbahasa Jawa. Selama satu jam, Dipanagara makan malam bersama komandan benteng dan dua perwira tersebut.
Selama santap malam bersama itu Dipanagara berkisah tentang panglima perangnya yang masih muda, Ali Basah Mertanegara, yang juga merupakan menantunya. Menurut catatan De Stuers, seperti yang dikutip Carey dalam buku mahakaryanya, di meja makan itu tampaknya Dipanagara paham sekali dengan tata krama Eropa. “Baru kali itu saya melihat seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta duduk dan makan di meja dengan begitu wajarnya,” ungkap De Stuers.