Selama 98 menit saya tak berkedip menyaksikan luka-luka sejarah diputar kembali dalam sebuah film berjudul Senyap (The Look of Silence). Film ini menyulut amarah dan rasa berdosa atas pembantaian kejam yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun-tahun setelahnya.
Meski tidak ada yang bisa mengonfirmasi berapa jumlah manusia yang terbantai pada kurun waktu 10 tahun sesudahnya, satu hal jelas tak terbantahkan bahwa yang menjadi korban tidak semata-mata mereka yang terbunuh, tetapi juga keluarga mereka dalam bilangan generasi. Konon, hingga hari ini stigma pengkhianat negara, pelaku kudeta dan tak beragama, terus dihidupkan.
Baca juga: Kehidupan Para Eksil!break!
Stigma yang membunuh
Sering kita mendengar ada pernyataan mengingatkan bahaya komunisme, bahaya Partai Komunis Indonesia (PKI). Apakah masih ada komunisme yang berjaya? Apakah masih ada PKI? Apakah ideologi komunisme masih belum pailit?
Stigma ini membunuh harapan dan masa depan jutaan anak-anak yang sama sekali tak tahu-menahu apa yang terjadi tahun 1965, tak terlibat, dan tak berdosa. Mereka menjadi paria, golongan warga negara kelas tiga atau kelas empat.
Ada yang menyebut angka 1,5 juta orang terbunuh. Ada yang menyebut 750.000 orang terbunuh. Ada yang di bawah itu. Tak ada yang tahu berapa persisnya jumlah yang terbunuh, tetapi tak ada yang membantah bahwa jumlahnya ratusan ribu orang.
Selain itu, hampir semua rumah tahanan dan sebuah pulau di Maluku dipenuhi oleh tahanan orang-orang PKI. Indonesia menjadi penjara terbesar di dunia. Di rumah-rumah, para orangtua, istri, suami, saudara, serta anak dan cucu ikut menjadi korban tanpa tahu kejahatan yang mereka lakukan.
Di jidat mereka terpampang stempel: tidak bersih lingkungan!
Mereka tak punya hak untuk menjadi pegawai negeri, tentara, polisi, mahasiswa di perguruan tinggi dan (tragisnya!) di perusahaan swasta juga. Untuk bisa diterima jadi pegawai, mereka mesti punya surat bersih lingkungan dan mereka tidak tahu apa itu bersih lingkungan. Meski mereka bukan kriminal, mereka tetap dianggap sebagai kriminal.
Kebanyakan mereka tahu apa yang terjadi terhadap keluarga mereka. Mereka tahu siapa yang menyiksa, membunuh, dan membuang mayat orang-orang malang itu ke sungai atau ke laut. Mereka tidak berani bersuara. Mereka tidak berani berkata-kata. Mereka tidak berani menuntut. Mereka takut! Selama 32 tahun mereka menyembunyikan wajah mereka di balik tembok.
Baru setelah reformasi tahun 1998, mereka bersuara, menuntut kebenaran dan keadilan. Mereka meminta negara bertanggung jawab, menuntut agar hak asasi mereka dipulihkan.!break!
Penyembuhan luka