Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh

By , Kamis, 20 November 2014 | 17:10 WIB

Media juga sudah mulai berani mengungkap kejahatan hak asasi manusia masa lalu, dan dalam konteks ini tuntutan akan perlunya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi digaungkan. Kita perlu mengungkapkan kebenaran (truth telling), menyatakan maaf dan kemudian melakukan penyembuhan (healing).

Sebagai sesama warga negara, sesaudara, rekonsiliasi harus dimulai. Bukankah mereka bertemu setiap waktu? Teruskah mereka tak bertegur sapa? Apakah dendam itu harus dilestarikan? Apakah segregasi harus diteruskan?

Seorang yang bernama Adi Rukun, adik dari korban pembunuhan yang bernama Ramli, yang sehari-hari adalah pedagang kacamata, mengerahkan keberaniannya untuk menggali kebenaran, mendatangi satu demi satu para pembunuh Ramli, mendengar cerita mereka sambil menawarkan kacamata agar para pembunuh tersebut bisa melihat lebih jelas. Secara sistematis dan konsisten, Adi Rukun melontarkan pertanyaannya yang terkadang mirip seperti jaksa. Suaranya kadang bergetar karena marah.

Saya melihat Adi Rukun menangis walau dia mampu menahan aliran air matanya, termasuk ketika dia mengatakan bahwa salah satu yang disiksa dan dibunuh secara kejam oleh orang yang di hadapannya itu adalah abangnya yang bernama Ramli. Adi Rukun semakin hancur mengetahui bahwa tidak ada penyesalan dari para pembunuh, tidak ada permintaan maaf. Malah mereka bangga karena menjalankan tugas negara. Apakah membunuh orang-orang sipil tidak bersalah adalah tugas negara?

Dengan gontai Adi Rukun berjalan dari satu rumah ke lain rumah dan juga melihat tempat mayat abangnya, Ramli, dibuang. Dia tak kuasa mengerti mengapa mereka, para pembantai itu, tak mau meminta maaf.

Walau ada anggota keluarganya yang minta maaf, kebanyakan mereka mengatakan "biarlah semuanya berlalu, yang sudah terjadi jangan diungkit lagi". Tak ada secercah perasaan di hati mereka untuk mengerti luka yang ada dalam diri Adi Rukun.

Mereka tidak melihat air mata yang sudah kering. Mereka tak pernah bertanya bagaimana kalau mereka berada dalam posisi Adi Rukun.

Adi mencurahkan kemarahan dan kesedihannya kepada istri, ibu, dan ayahnya. Dia juga menjelaskan perasaannya kepada anaknya. Mereka semua tak menyangka Adi Rukun melakukan itu. Mereka takut perbuatan Adi Rukun akan membahayakan diri dan keluarganya, dan nyaris menyerah tak mau mendorong Adi Rukun untuk meneruskan pencarian akan kebenaran.

Namun, kita bisa melihat hati mereka bergetar, marah, dan pasrah. Mereka meyakini bahwa terhadap pembunuh akan ada hukuman dari Yang Mahakuasa. Mereka mencatat semua pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran kemanusiaan mereka, pembantaian, dan pembunuhan keji yang tak bisa dibayangkan.

!break!

Mencari kebenaran

Adi Rukun tak menyerah. Dia terus mencari kebenaran. Film Senyap adalah kumpulan dari potongan-potongan cerita kegigihan Adi Rukun dalam mencari kebenaran.

Di situlah kita menyaksikan percakapan filsafat tanpa menyebut kata filsafat. Di situlah kita mendengar tuntutan akan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tanpa merujuk pada keberhasilan lembaga serupa di Afrika Selatan.