Benny Wenda Terus Lakukan Lobi Soal Papua Merdeka

By , Senin, 1 Desember 2014 | 08:30 WIB

Dalam tempo kurang dari dua tahun kelompok separatis Free West Papua pimpinan Benny Wenda membuka kantor di beberapa negara, termasuk Belanda dan Australia menyusul pembukaan kantor pertama di kota Oxford, Inggris pada April tahun 2013.Misi kantor-kantor itu setidaknya ada dua. 

"Kantor ini dibuka untuk mendidik dunia untuk mengerti dan di sini menampung suara rakyat Papua. Setelah itu kita menyampaikan kepada dunia," kata Benny Wenda dalam wawancara khusus dengan BBC di Oxford. 

Di kota tersebut, Benny Wenda menetap sejak kabur dari tahanan di Papua pada 2002. Salah satu kasus yang dihadapi saat itu adalah pengerahan massa untuk membakar kantor polisi. 

"Mendidik dunia" adalah istilah yang kerap ia gunakan untuk mendiskripsikan bahwa dunia sudah "dibohongi" tentang penentuan status Papua, atau dulu Irian Barat, lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. 

'Tak ada unsur baru' 

Pria kelahiran Lembah Baliem, Papua 40 tahun lalu itu menyebut hasil Pepera, yang mendukung integrasi Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia dan hasilnya diterima PBB, tidak dapat diterima karena tidak ditempuh dengan cara satu orang satu suara. 

Dalam analoginya, hal itu bisa dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah "penjajah" di Papua. Dan analogi itu menjadi salah satu amunisi Benny Wenda untuk memaparkan kepada publik mengapa Papua harus berpisah dari Indonesia. Ini antara lain dilakukannya ketika mengadakan tur dunia pertamanya yang meliputi negara-negara Pasifik, Australia, Selandia dan Amerika Serikat setelah namanya dicabut dari daftar Interpol pada Agustus 2012. 

Lobi-lobi dilakukan di tingkat pemerintah, parlemen, organisasi maupun individu. Benny mengklaim dukungan terus mengalir setelah diadakan pendekatan-pendekatan. 

"Sekarang ini dunia mulai. Kenapa harus kita berjuang karena dunia sekarang mengerti kenapa rakyat ingin berjuang, akar masalahnya apa." 

Namun pemerintah Indonesia menganggap kampanye yang diadakan di luar negeri untuk memisahkan Papua dari Indonesia tidak mengandung unsur baru. 

"Apa yang dilakukan mereka adalah apa yang biasa mereka lakukan. Kadang-kadang apa yang mereka lakukan misalnya seperti sesuatu yang sangat besar, tapi sebenarnya tidak," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. 

"Sementara itu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia lebih terfokus pada pembangunan di Papua. Papua adalah bagian dari Indonesia. Orang Papua adalah bagian dari bangsa Indonesia," tambahnya. 

!break!

Pembangunan 

Retno Marsudi menuturkan berdasarkan hasil pemantauan gerakan kelompok separatis Papua di Belanda ketika ia masih menjabat sebagai Dubes RI, aktivis Papua merdeka menampilkan sesuatu yang sudah tidak sahih."Kita semua punya dasarnya dan saya kira suatu kasus yang mungkin terjadi dulu sekali, bertahun-tahun yang lalu kemudian diungkapkan lagi, diungkapkan lagi seolah-olah Indonesia tidak pernah maju. Dan itu bukan sesuatu yang sebenarnya terjadi di Papua. 

Oleh karena itu kita juga memberikan informasi-informasi mengenai pembangunan di Papua yang lebih valid, yang lebih terkini," jelas Retno Marsudi. 

Pandangan menteri luar negeri didukung oleh mantan aktivis Papua merdeka, Nicholas Messet. Setelah memperjuangkan pemisahan diri selama 40 tahun dari pengasingannya di Swedia, tokoh masyarakat Papua itu memutuskan pulang ke Provinsi Papua. 

"Silakan saja mereka mau berjuang sampai akhir dunia kiamat. Silakan saja. Itu hak-hak mereka. Tapi saya pikir kalau berjuang dari sana dan orang Papua dalam negeri pikir bahwa sudah baik tinggal dengan Indonesia, apa guna mereka berjuang di sana," kata Nicholas Messet kepada Rohmatin Bonasir. 

Kekerasan, yang diduga terkait tuntutan pemisahan Papua dari Indonesia, muncul kembali yang mengakibatkan korban jatuh di pihak aparat keamanan dan warga sipil.Agustus lalu digelar demonstrasi di Jayapura untuk mendukung pembukaan cabang kantor OPM di Belanda. 

Meskipun organisasi tersebut telah membuka beberapa kantor cabang, pendiri Free West Papua, Benny Wenda, tidak mengizinkan BBC melakukan wawancara di kantornya di kawasan Oxford Timur maupun mengambil gambar kantor dengan alasan keamanan.