Segala Hal yang Mereka Tinggalkan

By , Rabu, 3 Desember 2014 | 14:27 WIB

Kutang.

Sekaleng krim cukur Gillette.

Ransel butut (bermotif tokoh kartun anak-anak).

Kami berjumpa hahai suatu pagi di tempat perkemahan Afar nan terpencil.

!break!

Mereka lima belas lelaki letih dari gunung-gunung Etiopia—negara yang nyaris menduduki peringkat terbawah di indeks kemiskinan PBB, posisi 174 dari 187 negara—berjalan menuju Djibouti yang sedikit lebih makmur (urutan 165) untuk mencapai Yaman yang agak lebih makmur (urutan 154). Angka-angka ini menjadi alasan mengapa di siang bolong sekalipun lelaki-lelaki ini tak boleh kelihatan.

Setelah semalaman berjalan, mereka beristirahat di batu-batu dan menyesap air dari buyung. Seorang lelaki mengaduk besso atau bubur jelai dalam periuk timah penyok dengan tangan telanjang. Penyelundup mereka, seorang lansia Afar, duduk agak jauh, berpakaian necis dengan kaos kaki biru mencolok dan sepatu tenis yang menutup mata kaki. Ia asyik merokok.

“Yaman itu keras,“ ujar seorang migran. “Mereka bakal membunuh kita dengan pisau dan senapan.”

Rasa sangsi pasti terbaca jelas di wajah saya karena seorang teman seperjalanannya langsung menyerukan dukungan.

“Dia berkata benar,” bela Daniel, yang berjalan 13 hari dari provinsi Wollo. Pekerjaan memetik kurma di Arab Saudi telah menantinya. Ia akan dibayar 4.000 birr Etiopia—sekitar $200—sebulan. Jumlah yang fantastis; dua kali upahnya sebagai buruh di Etiopia. Ia pun menuturkan kisah ini:

Tahun lalu, di Yaman, komunitas nomadnya yang miskin diserang penyamun. Penjahat Yaman itu menikam seorang migran dan melemparkan mayatnya ke sumur. Daniel bersembunyi di semak-semak selama tiga hari, tanpa makanan, hingga ia akhirnya berhasil menyelinap ke perbatasan Saudi. Ia menceritakan kisah ini sambil tersenyum. Semua temannya ikut tersenyum. Besso siap dimakan. Tiada lagi kata yang terucap. Mereka sibuk merenungi samudra. Kisah pun berakhir di sini.  

Dua buku alamat dengan nomor telepon Dubai (digerogoti tikus).

Celana panjang.