Toples selai.
Selongsong peluru 7.62 mm.
Malam membalut dataran berbatu. Kafilah mungil kami pun berhenti.
!break!Pemandu saya, Ahmed Alema Hessan, jatuh sakit karena sesuatu yang mirip tipus. Saya juga ambruk. Kami semua lapar dan telah berjalan sejauh 35 kilometer. Perbekalan kami menyusut; hanya tersisa beberapa bungkus mi dan sedikit biskuit. Api kami padamkan lebih awal. Di balik selimut, kami berbaring dengan mata terbuka. Saya melamunkan rumah yang bermandi hangatnya mentari di tempat nan jauh. Rumah putih itu berada di posisi yang lebih tinggi, dengan pepohonan hijau, gelak tawa wanita yang mengalun dari dapur, dan celoteh bangau hadada. Benak saya terhanyut dalam mimpi.
“Paul?” desis Alema seketika. “Hei, Paul!”
Namun saya juga sudah mendengarnya: kegaduhan yang tiba-tiba di dalam gelap. Gemuruh lamat-lamat itu kian lama kian lantang, seolah ada kawanan hewan liar yang datang mendekat. Namun mungkinkah ada hewan di sini? Bukankah rumput dan sumur terdekat berkilometer-kilometer jauhnya dari sini? Saya bangkit dan duduk.
Lalu muncullah mereka, selajur sosok manusia di bawah sorotan pucat senter Alema.
Rombongan pria dan wanita itu seolah dipahat dengan warna kelabu dan hitam dari ranting-ranting malam. Lima, enam. Selusin. Lalu banyak sekali. Mereka berderap melewati kemah kami dalam satu barisan. Saya mencoba menghitung jumlah mereka tetapi menyerah begitu mencapai angka 90. Langkah mereka yang terseok-seok mengangkat tabir debu ke langit malam. Mereka tidak mendongak. Tak juga membawa cahaya. Hanya segelintir yang ditinggalkan di belakang. Kami tak bertukar sepatah kata pun. Lidah saya kelu.