Menguak Tabir Awan

By , Rabu, 10 Desember 2014 | 16:40 WIB

Cuaca dan manusia. Relasi keduanya demikian kental dan dalam. Cuaca senantiasa hadir. Manusia tak kuasa menolak.

Hujan atau panas terik mengubah perasaan, bahkan kondisi fisik kita. Musim dingin dan musim panas mampu mengubah perilaku manusia.

Seiring perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global, model cuaca kian sering berubah, semakin sering memunculkan bentuknya yang ekstrem. Hujan deras disertai angin kencang, panas ekstrem, udara dingin membeku sering muncul. Bahkan, di wilayah-wilayah tak biasa.

(Baca tentang cuaca ekstrem, di tautan  berikut ini)

Gelombang bencana terkait cuaca ekstrem pun kian besar. Semua relung dan sudut Bumi tak terkecuali.

Perubahan iklim yang pada beberapa faktor mempercepat proses yang berdampak buruk. Peningkatan suhu diakibatkan tertahannya pemantulan energi panas matahari oleh lapisan gas rumah kaca hasil aktivitas manusia. Pertanyaannya, bagaimana hasil akhir pemantulan dan serapan energi panas itu dari berbagai permukaan?

Energi panas matahari dipantulkan dan diserap permukaan air (laut), daratan, dan udara. Lalu di mana mereka harus memusatkan perhatian agar mampu mengungkap rahasia perubahan tersebut? Awanlah jawabnya.

Peran awan mempertahankan keseimbangan panas Bumi, terus menjadi teka-teki di benak ilmuwan.

Peran awan pada perubahan iklim diangkat dalam Scientific American edisi November 2014. Penguapan air laut adalah pemain kunci dalam pola cuaca. Awan sebagai hasil pendinginan uap air berperan penting.

Apakah awan berperan menyerap panas dan meradiasikan kembali ke atmosfer sehingga suhu Bumi meningkat? Atau, merefleksikan gelombang panas kembali ke Matahari sehingga suhu Bumi menurun?!break!

Jauh sebelum ilmu meteorologi diakui sebagai ilmu pengetahuan (science), manusia sudah membaca cuaca dari awan di angkasa yang beragam bentuknya. Dari yang bergulung-gulung hingga yang demikian halus sebagai halo di seputar bulan.

Baru pada 1803, meteorolog paruh waktu, Luke Howard, mengklasifikasikan awan dan menamainya menggunakan bahasa Latin. Howard membedakan berdasarkan ketinggian dan bentuk. Ia membaginya menjadi tiga jenis awan, yaitu "rambut keriting" atau awan cirrus, "tumpukan" atau awan cumulus, dan "awan yang menyebar" atau stratus.

Selama ini, pengamatan awan dilakukan menggunakan satelit yang hanya mampu melihat bentuk awan tanpa mampu mengungkap dinamika fisis dan kimia di dalam tubuh awan. Interaksi berlapis yang berlangsung di dalamtubuh awan bagai kabut misteri. Kandungan aerosol (partikel padat) di dalam awan diyakini memengaruhi perilaku awan terhadap beragam radiasi sinar Matahari. Pengaruh setiap jenis aerosol pun berbeda.