Astronomi Sebagai Pilihan Hidup

By , Minggu, 14 Desember 2014 | 19:10 WIB

"It has been said that astronomy is a humbling and character-building experience. There is perhaps no better demonstration of the folly of human conceits than this distant image of our tiny world. To me, it underscores our responsibility to deal more kindly with one another, and to preserve and cherish the pale blue dot, the only home we've ever known." – Carl Sagan

Astronomi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit seperti planet, asteroid, bintang, galaksi ataupun alam semesta skala besar. Astronomi juga merupakan ilmu alam tertua yang dipelajari manusia. Dan di zaman dahulu sebelum teknologi dikenal, masa sebelum ada listrik, Facebook, Twitter, ataupun iPhone, langit selalu memesona manusia (tentunya hingga saat ini juga).

Tidak kurang berbagai peninggalan sejarah yang memiliki hubungan erat dengan astronomi, seperti piramida Giza di Mesir yang formasinya mirip formasi tiga bintang di sabuk Orion (Alnitak, Alnilam, Mintaka), Stonehenge yang digunakan untuk menengarai datangnya musim dengan melihat arah terbitnya Matahari dari celah tertentu, ataupun Candi Borobudur yang memiliki fungsi mirip dengan Stonehenge. Tidak hanya bangunan kuno, matematika ataupun filosofi dari Yunani hingga saat ini masih digunakan oleh manusia.

Candi Borobudur dapat dicapai dari Kota Magelang yang menjadi gerbang bagi destinasi wisata ini (R. Ukirsari Manggalani/National Geographic Traveler)

Dari sejarah, dapat diketahui kalau bangsa-bangsa besar sangat menghargai pentingnya ilmu pengetahuan, tidak hanya saat itu, tetapi juga investasi generasi mendatang yang dapat lebih mengambil manfaat dari apa yang telah ditemukan sebelumnya. Astronomi merupakan ilmu pengetahuan mendasar yang perlu dikembangkan bagi generasi mendatang. Sayangnya, komentar yang paling sering muncul di benak masyarakat awam adalah, "Untuk apa mempelajari semua itu, toh juga tidak ada manfaat langsung untuk masyarakat."

Sering pula kita temui komentar, "Benda itu jauh di sana, meskipun mereka meledak pun tidak ada efeknya bagi manusia," atau, "Buat apa mempelajari benda-benda yang jauh itu, untuk ke depannya nanti juga susah cari pekerjaan." Memang kenyataan yang ada untuk menjadi seorang ilmuwan atau lebih khususnya astronom di Indonesia bukanlah perkara yang mudah dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti lowongan pekerjaan, prospek masa depan pekerjaan, serta kondisi finansial yang ada.

Hal yang tidak disadari masyarakat kebanyakan bahwa sebenarnya banyak teknologi sehari-hari yang justru awalnya ditemukan dalam rangka untuk mengembangkan penelitian astronomi. Contohnya adalah CCD (Charge Coupled Device), yaitu sensor yang ada pada semua kamera, baik kamera digital, DSLR, webcam ataupun pada setiap mobile phone.

Tidak hanya itu, lensa antigores yang digunakan pada kebanyakan lensa kacamata, kawat gigi transparan, filter air juga merupakan hasil penelitian ilmuwan NASA untuk pendukung misi luar angkasanya. Waktu implementasinya memang tidak bisa dalam hitungan bulan, tetapi baru bertahun-tahun kemudian kegunaannya dapat dirasakan oleh khalayak umum.

!break!

Nah, di zaman globalisasi seperti ini, jarak dan batas antarnegara bukanlah menjadi batu sandungan untuk saling bertukar informasi ataupun bekerja sama. Dengan ditemukannya alat komunikasi dan transportasi yang memadai dan canggih, batas antarnegara pun menjadi lebih tidak kasat mata. Dalam dunia astronomi, penelitian yang dilakukan tidak lagi dalam skala nasional namun internasional.

Kolaborasi astronom internasional membawa semangat yang luar biasa untuk tidak lagi mengedepankan kepentingan negara masing-masing, tetapi lebih mengutamakan keuntungan yang dapat diperoleh umat manusia ke depannya. Tentunya hal ini pun bisa membawa semangat perdamaian bagi kita semua.

Sagan pada 1974, seorang profesor astronomi di Cornell University di Ithaca, New York , untuk sebagian besar karirnya. Foto: Santi Visalli Inc., Getty

Penelitian dalam astronomi juga membutuhkan instrumen yang terkini. Industri robot, optik, aeronautik, material dan banyak yang lain sangat dibutuhkan kontribusinya dalam menghadapi kebutuhan teknologi para astronom yang semakin hari semakin cepat perkembangan ilmunya. Hal ini secara tidak langsung akan menciptakan usaha-usaha dari industri untuk memenuhi permintaan pasar yang notabene menciptakan lapangan kerja baru bagi ribuan bahkan puluhan ribu orang di berbagai negara.

Astronom Afrika Selatan yang juga Direktur Office for Astronomy Development, Kevin Govender, pernah berkata, "Strengthening astronomy in poor nations can help promote socio-economic development (Memperkuat astronomi di negara miskin dapat membantu perkembangan sosio-ekonomi)." Hal ini dapat kita lihat secara nyata pada perkembangan Thailand melalui institusi NARIT (National Astronomical Research Institute of Thailand).

NARIT saat ini banyak memberikan beasiswa pada pelajarnya untuk belajar astronomi di berbagai negara maju. Selain itu, Thailand juga merekrut banyak astronom dari berbagai negara tetangga untuk membangun fondasi astronomi di Thailand. Hal ini secara tidak langsung akan merangsang warga negara yang bersangkutan agar dapat mengikuti perkembangan teknologi terkini.

!break!

Merintis perjalanan menuju astronom profesional