Antara Unta dan <i>Gyrocopter</i>

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 12:51 WIB

11 Juni 2013

 Riyadh, Arab Saudi, 24°42'46" N, 46°40'25" E

“Berapa banyak unta yang Anda cari?”

Saya sedang duduk di kafe elegan Hotel Four Seasons. Tak tebersit di benak saya bahwa berbelanja unta beban di Arab Saudi akan melibatkan pertemuan di oase eksklusif ini. Di sini, pelayannya sedap dipandang, lantainya marmer mengilap, dan kacanya miring.

Di Afrika, bermandi peluh itu wajib hukumnya bila kita hendak membeli unta. Dimulai dengan berjongkok di pondok Afar (atau di luar pintu pondok, jika tungku masaknya kelewat berasap) dan menegaskan pada kaum nomad yang menyayangi ternaknya secara spiritual (“Mereka keluargaku! Aku tak akan pernah menjual mereka!”) bahwa kita tidak berminat membeli. Bahwa mereka cuma kantong kutu kurus dan kita tak sudi merogoh dua birr—setara dengan Rp1.200—untuk membeli satu. Nah, setelah ini barulah kita bisa merundingkan harga.

Bedanya, di Arab Saudi saya tak tahu apa-apa: saya naif, kuno, dan tidak mementingkan perkara duniawi. Tak disangka-sangka, meja hitam berpernis dengan suguhan semangkuk jamur truffle Prancis ini adalah titik anjak pencarian unta. Semua karena teman-teman saya, Fares Bugshan dan Seema Khan, pengusaha dan tokoh masyarakat, ada di sini. Mereka mengundang saya untuk bicara tentang pendidikan. (Saya akan berceramah di sekolah-sekolah setempat.) Saat saya menyinggung sambil lalu soal betapa sulitnya menemukan unta pekerja biasa di tengah modernitas Arab Saudi, pusat kaum nomad Badui yang tersohor, Seema meletakkan cangkir tehnya. Ia mengeluarkan notes berjilid kulit, mengklik pena, dan bertanya: “Berapa unta yang Anda butuhkan?”

“Yah, dua.”

“Itu saja?”

“Jantan.”

“Dua jantan.” Ia mulai mencatat. “Oke, apa lagi?”

“Idealnya berusia lima hingga tujuh tahun.”

“Lima hingga tujuh tahun. Ya.”

“Dan saya hanya bisa membayar paling mahal 2.500 riyal per ekor.”