11 Juni 2013
Riyadh, Arab Saudi, 24°42'46" N, 46°40'25" E
“Berapa banyak unta yang Anda cari?”
Saya sedang duduk di kafe elegan Hotel Four Seasons. Tak tebersit di benak saya bahwa berbelanja unta beban di Arab Saudi akan melibatkan pertemuan di oase eksklusif ini. Di sini, pelayannya sedap dipandang, lantainya marmer mengilap, dan kacanya miring.
Di Afrika, bermandi peluh itu wajib hukumnya bila kita hendak membeli unta. Dimulai dengan berjongkok di pondok Afar (atau di luar pintu pondok, jika tungku masaknya kelewat berasap) dan menegaskan pada kaum nomad yang menyayangi ternaknya secara spiritual (“Mereka keluargaku! Aku tak akan pernah menjual mereka!”) bahwa kita tidak berminat membeli. Bahwa mereka cuma kantong kutu kurus dan kita tak sudi merogoh dua birr—setara dengan Rp1.200—untuk membeli satu. Nah, setelah ini barulah kita bisa merundingkan harga.
Bedanya, di Arab Saudi saya tak tahu apa-apa: saya naif, kuno, dan tidak mementingkan perkara duniawi. Tak disangka-sangka, meja hitam berpernis dengan suguhan semangkuk jamur truffle Prancis ini adalah titik anjak pencarian unta. Semua karena teman-teman saya, Fares Bugshan dan Seema Khan, pengusaha dan tokoh masyarakat, ada di sini. Mereka mengundang saya untuk bicara tentang pendidikan. (Saya akan berceramah di sekolah-sekolah setempat.) Saat saya menyinggung sambil lalu soal betapa sulitnya menemukan unta pekerja biasa di tengah modernitas Arab Saudi, pusat kaum nomad Badui yang tersohor, Seema meletakkan cangkir tehnya. Ia mengeluarkan notes berjilid kulit, mengklik pena, dan bertanya: “Berapa unta yang Anda butuhkan?”
“Yah, dua.”
“Itu saja?”
“Jantan.”
“Dua jantan.” Ia mulai mencatat. “Oke, apa lagi?”
“Idealnya berusia lima hingga tujuh tahun.”
“Lima hingga tujuh tahun. Ya.”
“Dan saya hanya bisa membayar paling mahal 2.500 riyal per ekor.”
“Dua ribu lima ratus.” Seema mengangguk. “Oke. Sudah semua? Saya tidak tahu apa-apa tentang unta, lho.” “Yah, lebih baik untanya sudah dikebiri.”
“Oh ya. Dikebiri. Tentu saja.”
“Terima kasih, Seema.”
“Sama-sama, Paul.”
!break!Beberapa hari berselang, saya membeli dua unta jantan berusia lima dan tujuh tahun, untuk mengiringi langkah kaki saya ke luar Arab Saudi. Mereka saya temukan di pasar ternak dekat garis awal saya di Jazirah Arab, kota pesisir Jeddah. Lebih tepatnya, Fares dan Seema mencarikan saya mereka. Debu dan kotoran hewan di mana-mana. Para pemilik ternak berteriak-teriak dari sebidang tanah berpagar reyot. Selamat datang kembali, perasaan nyaman.
Penjual-penjual di sini adalah orang Sudan yang senang melamun. Kami tawar-menawar di dalam kemah terpal; total dibutuhkan 14 gelas teh untuk menuntaskan transaksi. Saya curiga, pembelian ini menyelamatkan dua unta tersebut dari takdir yang lebih kejam dibanding menggotong cadangan kaos kaki saya merandai gurun Nefud; bulu mereka menggumpal oleh cat kuning yang dicorengkan penilai daging dari gudang ternak pelabuhan. Keesokan harinya, untuk merayakan keberhasilan ini, saya naik gyrocopter memutari langit Jeddah.
Apa itu gyrocopter? Wajar bila Anda bingung dan bertanya.
Gyrocopter adalah persilangan antara pesawat dan helikopter. Sebelumnya saya tak tahu mesin jenis ini masih ada. (Potret Amelia Earthart yang berpose di sebuah gyrocopter seketika mencuat dari timbunan memori.) Namun, di Jeddah, ada sebuah klub yang menerbangkan gyrocopter terakhir keluaran Jerman. Pengelolanya adalah teman Saudi saya, Kolonel Dokter Mubarak Swilim Al Swilim. Mubarak adalah Wakil Presiden Arab Air Sports Federation dan jawara terjun payung di seantero negara-negara Islam, sekaligus satu dari dua warga Saudi yang pernah terjun payung di atas Kutub Utara. (Apakah dinginnya tidak menusuk tulang? tanya saya. Tidak, tidak, jelasnya. Setelan panas khusus yang dikenakannya malah bikin berkeringat.)
!break!“Anda perlu melihat rute Anda dari atas,” usul Mubarak. “Sudah lama sekali tak ada orang yang meninggalkan Arab Saudi dengan berjalan kaki.”
Yah, tentu saja itu benar. Maka saya pun mengenakan earphone berisi gel dan menaiki gyrocopter, mengarungi awang-awang Jeddah.
Arab Saudi merupakan negara yang luas dan rumit. Mahamodern sekaligus kuno. Tradisional namun senang menjajal hal baru. Arkeologinya berakar amat dalam—semenjak migrasi awal Homo sapiens ke luar Afrika—namun, di tengah jernihnya udara gurun, masa lalu dan masa kininya tumpang tindih. Menyentuh hati musafir. Di sini, kita mampu menempuh berabad-abad masa dalam satu hari saja.
Di sepanjang rute yang saya rencanakan ke Timur Tengah, kota-kota kecil dengan kompleks arsitektur batu karang bernapaskan Islami, berjejalan pula kota-kota instan senilai miliaran dolar yang didesain untuk menampung dua juta orang. Jalur kereta supercepat ditempatkan di dekat jalan antik Haj yang dahulu dilewati maharaja dan rombongan pengiring yang terdiri dari 15.000 unta berhias. Penentu urutan DNA bermutu tinggi bersenandung nun jauh di sebuah universitas di sekitar rute jalan saya.
Di Old Town Jeddah, telinga saya menikmati lantunan merdu adzan dari 36 masjid berbeda kala magrib menjelang—jenis senandung lainnya. Dan tentu saja, ada pipa kilang minyak. Saya akan melintasi beberapa pipa saat berjalan kaki 1.448 kilometer di wilayah Kerajaan ini. Seperempat suplai minyak dunia dicurahkan ke kapal-kapal yang menanti dengan haus: berkah dari Allah—atau beban—tergantung warga Saudi mana yang Anda ajak bicara, pada hari apa, dan dalam suasana seperti apa.
“Anda mendorong kami mengenang masa silam,” kata seorang pilot muda nan ramah di klub gyrocopter pada saya. Ia tahu soal kafilah unta saya.
Saya tersenyum. Dan berterima kasih padanya. Ia jelas terlalu muda tiga generasi untuk mengenang memori tersebut. Namun, tetap saja (saya ingin mengatakan ini padanya) kami dihubungkan oleh beberapa hal. Unta mamalia asli Amerika Utara. Mereka berkembang 40 juta tahun lalu di dataran dingin yang kini menjadi Kanada dan Amerika Serikat. Catatan fosil menunjukkan mereka bermigrasi ke barat dalam kawanan-kawanan, lalu melewati Bering Land Bridge ke Eurasia dan memasuki Arabia. Mereka bersilangan arah dengan gelombang pasang manusia mula-mula yang menyebar ke timur. Di sana, keturunan pertama karuhun yang memasuki Dunia Baru berburu unta hingga punah sekitar 10.000 tahun lalu. Yang tapak kakinya tengah saya ikuti saat ini, adalah para peneroka.
“Apa nama kedua unta Anda?” tanya sang pilot.
Pemandangan lautan cahaya tadi masih menyisakan pening di kepala saya.
“Fares,” sahut saya. “Fares dan Seema.”