Dosen di Manado Ini Unggah Hasil Perburuan Yaki

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 18:55 WIB
!break!

Kepala BKSDA Sulawesi Utara, Sudiono menunjukkan barang bukti berupa penggalan daging satwa liar yang dilindungi yang disita dari para pemburu. (Fiqman untuk Kompas.com)

Dia memberikan contoh soal keberadaan monyet di hutan Molibagu yang sering menjadi musuh petani karena merusak. Alasannya, kalau monyet dipreservasi dan konservasi, semestinya satwa itu dilokalisasi agar tidak merusak lahan pertanian warga.

"Karena hukum bukan hanya soal Rechtmatigheid, tetapi juga Doelmatigheid. Sehingga, kalau ada Undang-undang perlindungan terhadap satwa monyet yang habitatnya jutaan, dan merusak pertanian warga, itu artinya undang-undang tersebut salah dan harus dicabut. Jadi, apakah protes karena langka atau tidak, enak atau tidak, itu soal rasio dan rasa," tulis Devy.

Sumber Kompas.com di Unsrat yang tidak ingin namanya disebutkan mengakui jika Devy merupakan seorang doktor di Unsrat sesuai dengan informasi yang ditulis di akunnya, yaitu bekerja di Jurusan Hukum Internasional Unsrat. Informasi lainnya menyebutkan bahwa Devy mengajar filsafat.

Hingga Selasa (23/12) pagi, foto yang diunggah Devy telah di-share oleh ratusan kali serta mendapat ribuan tanggapan yang menentang aksinya tersebut. Namun, banyak pula yang mendukung aksi Devy, bahkan menyatakan ingin ikut serta menyantap daging satwa liar tersebut.

Terancam punah

Sebelumnya, Field Station Manager Macaca Nigra Project, Stephan Lentey, menjelaskan bahwa monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) atau yang disebut Yaki saat ini statusnya berada dalam "critically endangered" atau sangat terancam punah sesuai daftar IUCN.

"Dari penelitian pada 2010 yang dilakukan Juan-Fran Gallardo, saat ini hanya tersisa 5.000 ekor yaki di habtitat aslinya, 2.000 ekor di antaranya ada di Cagar Alam Tangkoko," ungkap Stephan.

Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, populasi yaki terus menurun dari kepadatan 300 ekor per meter persegi pada tahun 1980 hingga pada tahun 2010 tersisa kepadatan yaki hanya 44,9 ekor per meter persegi.

"Jika tidak ada penanganan yang serius dan menyeluruh, yaki akan menuju kepunahan. Pertumbuhan yaki sangat lambat. Betinanya hanya melahirkan satu bayi setiap hamil," tambah Stephan.

Yaki, lanjutnya, merupakan "agen" penyebar biji-bijian di lantai hutan Sulawesi. Artinya, bila membunuh, menangkap, atau mengonsumsi yaki, secara tidak langsung kita telah berperan dalam menggundulkan hutan Sulawesi.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Sudiyono saat dimintai pendapat oleh Kompas.com mengenai masalah ini berjanji untuk mengusut tindakan tersebut.

"Ini sudah kasus yang berapa kali, beberapa waktu lalu juga ada yang melakukan hal seperti ini," ujar Sudiyono, Senin (21/12) kemarin.

Beberapa warga yang geram dengan tindakan Devy mendesak pihak-pihak terkait untuk melaporkan yang bersangkutan ke pihak berwajib.

"Ini pelecehan dan penghinaan terhadap hukum di bidang lingkungan hidup. Pemerintah, LSM, pemerhati lingkungan hidup, praktisi lingkungan, para pecinta alam gencar mengkampanyekan tentang pelestarian kera Sulawesi yang hampir punah, eeh, dosen ini justru membantai hewan yang dilindungi ini secara terang-terangan dan terbuka," tulis Jemmy ikut berkomentar.