Rekonstruksi Aceh dan Makna Warung Kopi

By , Sabtu, 27 Desember 2014 | 07:44 WIB

Tidak banyak tempat hiburan di Banda Aceh selain warung kopi yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat makan dan minum tapi juga bersosialisasi dan berselancar di internet. Namun kehadiran warung-warung kopi ini dikhawatirkan berdamptak negatif. 

Kedai-kedai itu menyediakan aneka minuman, penganan dan juga makanan. Dengan Rp15.000, pengunjung bisa menyeruput satu cangkir kopi dan lima potong kue. Bila mau makan nasi lengkap dengan lauk diperlukan Rp10.000. 

Yang gratis adalah layanan internet wifi. Jadi pengunjung kafe bisa duduk berjam-jam sambil menjelajahi dunia maya di sana tanpa dikenakan biaya selain membayar apa yang dimakan dan diminum. 

Orang Aceh, kata ahli sosiologi dari Universitas Syah Kuala, Profesor Bahrein T Sugihen, memang sudah terbiasa nongkrong di kedai kopi sejak dulu. 

Tetapi frekuensinya mungkin tidak sesering beberapa tahun belakangan dengan jumlah kafe yang menjamur pasca tragedi gempa dan tsunami 26 Desember 2004 ketika banyak orang dari luar Aceh, terutama dari luar Indonesia berdatangan untuk membantu program rekonstruksi dan rehabilitasi. 

!break!

Syariah Islam di Aceh 

Di satu sisi bantuan dalam negeri maupun internasional mampu membangun kembali Aceh dari puing-puing kehancuran tsunami, bahkan mampu membangun lebih baik, sumbangan itu menimbulkan ketergantungan. 

"Kita sudah selesai menadahkan tangan atas bantuan jadi hidup harus kembali berjalan normal dan kita bisa melanjutkan kehidupan, ekonomi dan lain-lain dengan berdiri dengan kaki kita sendiri. Tetapi sampai hari ini masyarakat masih ada ketergantungan-ketergantungan pada bantuan itu," papar Uzair, seorang wartawan senior di Banda Aceh. 

Kapal nelayan terbawa gelombang tsunami dan dijadikan tempat mengungsi. (AFP via BBC Indonesia)

Atas timbulnya masalah-masalah sosial, sejumlah kalangan menyerukan agar syariah Islam diterapkan secara lebih ketat di provinsi dengan status khusus ini. Kepala Dinas Syariah Islam Aceh Profesor Syahrizal menuturkan penerapan syariah Islam dengan baik akan bisa mengatasi banyak persoalan, termasuk masalah sosial. 

Tsunami merupakan peristiwa yang membuat masyarakat Aceh berubah. Selain efek negatif dari keterbukaan dan pembangunan di bagian atas, sebagian penduduk Aceh lebih taat menjalankan ajaran agama atas landasan keyakinan bahwa di Aceh banyak orang berdosa maka bala ditimpakan ke Aceh melalui tsunami. 

"Yang kita inginkan bahwa 10 tahun tsunami ini, bukan saja Aceh membangun dari segi fisik infrastruktur tapi yang paling penting ialah bagaimana Aceh bisa membangun dirinya dengan membangun jiwa-jiwa masyarakatnya," kata Mujiburrizal, seorang tokoh masyarakat Desa Lampulo, Banda Aceh. 

Syariah Islam diberlakukan di Aceh sebagai kelanjutan nota kesepahaman perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia. Namun penerapan syariah tersebut acapkali dianggap berlebihan dan kaku sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi orang luar Aceh untuk membuka usaha, misalnya. 

Dalam upacara puncak peringatan 10 tahun tsunami di Banda Aceh, Jumat (26/12), Gubernur Zaini Abdullah di hadapan perwakilan 35 negara donor sampai perlu menegaskan bahwa Syariah Islam hanya berlaku bagi warga Muslim.