Rekonstruksi Aceh dan Makna Warung Kopi

By , Sabtu, 27 Desember 2014 | 07:44 WIB
!break!

Ibarat angin

Sebagian kalangan, termasuk ulama dan politikus tokoh, khawatir kehadiran kafe-kafe itu menimbulkan persoalan negatif yang sulit dibendung, walaupun di kafe-kafe juga terlihat diskusi hangat atau pembicaraan bisnis. 

Di antara contoh yang disebutkan adalah hubungan bebas dan konsumsi narkoba. Fenomena ini bukan khas Aceh saja tetapi umum terjadi di kota-kota lain. Bedanya, di Aceh hal-hal itu mungkin baru mencuat belakangan ketika tercipta perdamaian dan ketika Aceh terbuka pasca musibah 2004. 

Ali Setiawan dan Safrizal menikmati senja di Pantai Uleelheue, daerah dengan kerusakan terparah saat tsunami 2004. Trauma warga perlahan sirna namun tak berarti pihak terkait boleh lengah dalam mitigasi bencana tsunami. Simak liputan mengenang 10 tahun Tsunami di majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2014. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

"Perubahan ini tidak mungkin kita stop, dia seperti air mengalir. Dia hanya bisa dibendung, kalau dibendung kuat, dia akan loncat lewat bendungan. Kalau air lewat, tepiannya akan tergerus. Maknanya apa? Korbannya kita," kata sosiolog dari Universitas Syah Kuala Profesor Bahrein T Sugihen. 

Salah satu fasilitas hiburan yang tidak ada di Aceh adalah gedung bioskop dan kafe dengan hiburan musik. Tidak heran jika anak-anak muda memilih berlama-lama di warung kopi yang menyediakan fasilitas wifi. Tetapi bagi seorang anak muda, Wildan Iena Yuwa, hal yang memprihatinkan justru bukan kekhawatiran akan ancaman tergerusnya moral melainkan tatanan sosial yang luntur. 

"Kalau orang-orang zaman dulu kalau ada sesuatu masalah, bantuannya erat. Saling tolong menolong. Tapi kalau sekarang, nafsu-nafsu atau sendiri-sendiri. Mungkin karena sudah terbiasa dengan adanya bantuan yang datang," tuturnya.