Santapan Daging Kerbau dan Jejak Toleransi di Kota Kudus

By , Senin, 29 Desember 2014 | 20:00 WIB

Mulyadi (64) berjualan pindang kerbau keliling kota sejak tahun 1987. Namun, seingatnya, sejak kecil ia sudah mewarisi tradisi menyantap daging kerbau di Kota Kudus, Jawa Tengah. Daging sapi tidak ditabukan, tetapi tidak dikonsumsi atas alasan toleransi.

Daging sapi tidak ditabukan, tetapi tidak dikonsumsi atas alasan toleransi.

Warung Sidodadi, yang dibangun Mulyadi dengan susah payah dengan menu berbasis daging ”lokal”, cuma menyediakan dua pilihan: pindang dan soto kerbau.

Menu-menu tambahan seperti otak dan paru kerbau goreng serta perkedel kentang boleh dianggap sebagai camilan. Warung di Jalan Kutilang Gang I, kota Kudus, ini hanya salah satu dari beberapa warung yang mengolah daging kerbau.

Tak jauh dari lokasi warung Mulyadi terdapat warung tenda yang khusus menjual sate kerbau. Di beberapa sudut kota Kudus juga dengan sangat mudah bisa ditemukan menu berbasis daging kerbau, terutama sate dan pindang.

Ceritanya, pada 1987 Mulyadi memutuskan hidup sebagai pedagang keliling. Saban sore hingga malam hari, ia mendorong gerobaknya keliling kota, ”cuma” untuk menjajakan pindang kerbau. ”Saya bisa jalan sampai puluhan kilometer setiap hari, ditemani anak saya, Sugiarto. Waktu itu, ia sudah kelas 3 SMA,” kenang Mulyadi. Di sela-sela padatnya pengunjung, sore di akhir November 2014 itu Mulyadi seperti kembali ke masa-masa awal ”pengembaraannya” sebagai penjaja olahan daging kerbau.

Pilihan menu tradisional masyarakat Kudus yang menyukai makanan berkuah seperti pindang kerbau dirasa cukup tepat. ”Saya, kan, jualan buat orang Kudus. Jadi, ya, menunya yang disukai orang Kudus. Selain juga saya bisa masaknya, ya, itu… he-he-he,” kata Mulyadi.

Pindang kerbau sebenarnya mirip rawon di daerah lain di Jawa. Bumbu masaknya sederhana, terdiri dari kemiri, bawang merah, bawang putih, terasi, kluwek, santan, dan garam. Bedanya, saat menyajikan di atas mangkuk, pindang kerbau selalu disertai daun melinjo segar. Daun melinjo tidak saja memberikan kesegaran, tetapi juga aroma harum yang meruap dari mangkuk.

”Saya bisa habiskan 5 kilogram daun melinjo setiap hari. Kalau ndak dapat yang segar dan bagus, saya memilih tidak jualan,” kata Mulyadi. Lelaki yang melibatkan hampir semua anaknya di warung ini sangat menjaga kualitas sajiannya. Ia juga memilih tidak berjualan kalau tidak mendapatkan daging kerbau berkualitas baik. ”Dan, seluruh gajih pada daging saya buang,” ucap Mulyadi.

Tahun 1990, Mulyadi memutuskan menetap dengan gerobaknya di kaki lima kawasan Jalan Kutilang Gang I. Sejak itu, pembelilah yang mulai mendatangi warungnya. Sampai kini warung ini terkenal ke seantero kota melalui kabar mulut.

Bersama Sugiarto dan dua anaknya yang lain, Mulyadi selalu membuka warung pukul 17.00. ”Kira-kira dalam 3-4 jam pindang dan soto kebo sudah habis,” kata Sugiarto. Kini warungnya bahkan memiliki langganan tetap dari sejumlah kota. Bahkan, Sidodadi juga melayani pesanan dalam jumlah besar sampai 7.500 porsi. ”Itu nilainya Rp 75 juta karena per porsi harganya Rp 10.000,” kata Mulyadi.!break!

Penyair Kudus Thomas Budi Santoso, melihat dalam setiap kerat daging kerbau yang disantap warga Kudus terdapat nilai-nilai toleransi yang diwariskan sejak masa Sunan Kudus hingga kini. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus tetap memelihara nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat. Sekitar abad ke-16, wilayah Kudus bagian dari Kerajaan Majapahit yang sudah menganut Hindu dan Buddha.

”Warga Hindu tidak mengonsumsi daging sapi. Sunan juga meminta menghormati kebiasaan itu,” kata Budi Santoso.

Selain itu, Sunan juga mendirikan menara yang menjadi simbol sinkretisme antara tradisi lokal dan agama Islam. Kini menara itu terkenal dengan Menara Kudus, dengan pola arsitektur yang unik dan menarik.