Santapan Daging Kerbau dan Jejak Toleransi di Kota Kudus

By , Senin, 29 Desember 2014 | 20:00 WIB
Suasana di depan Masjid Menara Kudus seusai salat Jumat, 20 Januari 2012. Didirikan oleh Syekh Jafar Sodiq (Sunan Kudus) pada 1549, masjid ini selaras dengan arsitektur masa Hindu-Buddha dan hingga kini menjadi simbol akulturasi. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Mulyadi juga mengisahkan, untuk menghormati warga Hindu, masyarakat Kudus walau sudah memeluk Islam tetap tidak mengonsumsi daging sapi. ”Saya dengar ceritanya seperti itu walau sekarang sudah mulai ada yang jual daging sapi di sini,” katanya.

Pindang dan soto kerbau kudus tak hanya dinikmati sebagai masakan yang gurih, tetapi menjadi artefak peninggalan tradisi untuk merawat toleransi di negeri ini yang sudah berjalan ratusan tahun.

Soto kerbau, kata Mulyadi, memang muncul belakangan. ”Sekitar tahun 2000 baru ada soto kerbau. Bumbunya sama cuma soto tidak diberi santan dan daun melinjo,” ujarnya.

Setiap hari, Mulyadi bisa menghabiskan 10-15 kilogram daging kerbau terbaik. Pada setiap 1 kilogram daging, ia bisa memperoleh 25 porsi pindang dan soto. Jadi, setiap malam ia bisa menyajikan antara 250 porsi dan 375 porsi.

Toleransi memang tidak bisa ditakar dengan jumlah porsi pindang atau soto kerbau yang disajikan Mulyadi. Toleransi bukan sesuatu yang matematis, melainkan nilai yang ditanamkan dan dirawat terus-menerus. Dan, pindang kerbau karya Mulyadi menjadi salah satu cara yang efektif untuk merawatnya karena ia langsung terasa di lidah. Nyess... Rasa itu meresap sampai ke hati.