Menanti Kabar Baik Tarian Leluhur dari Perbukitan Toraja Utara

By , Sabtu, 3 Januari 2015 | 16:30 WIB

Tiba-tiba salah seorang penari membawa masuk sebuah jeriken kosong bekas minyak pelumas kendaraan. Kemudian dia menabuhnya dengan tempo agak cepat. Mendengar tetabuhan itu Nenek Rappa’ kembali menari—kali ini sendirian dan tanpa tongkat. Kakinya berderap di tempat, badannya berputar seraya mengangkat lengan bawahnya dan mengepak-ngapakkan dalam gerakan lambat. Dia melakukannya berulang kali, sambil sesekali melemparkan senyum simpulnya kepada saya. Lagak tarian ini riang dan sedikit kemayu. “Tari Ma’gellu,” ujarnya sambil menari-nari.

Tebing batu yang menjadi permakaman tradisi Toraja di antara Lembang Paku dan Lembang Ma'dong. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Tarian ini menyimbolkan burung pipit nan lincah dan riang. Biasanya dipentaskan untuk syukuran panen, upacara pernikahan adat, atau penerimaan tamu kehormatan.Umumnya, dipentaskan oleh perempuan muda yang memesona.

Mereka mengatakan, sebagian anggota keluarga mereka tengah merantau. Tampaknya, hasil merantau boleh jadi digunakan untuk upaya melestarian tradisi upacara adat Toraja yang kerap menghabiskan dana besar. Namun, mereka yang merantau pun kadang tidak bisa mempelajari kesenian tradisi leluhur. Pada akhirnya, mereka yang menetap di desa telah menjadi tulang punggung sang penerus tradisi.

Mereka yang merantau pun kadang tidak bisa mempelajari kesenian tradisi leluhur. Pada akhirnya, mereka yang menetap di desa telah menjadi tulang punggung sang penerus tradisi.

Sebuah perusahaan penyedia solusi listrik jangka panjang berbasis energi terbarukan, PT Nagata Dinamika (anak perusahaan PT Sumberdaya Sewatama), tengah mempersiapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) di kawasan Lembang Paku dan Lembang Ma’dong. Lewat debit Sungai Maiting yang dibendung, diharapkan PLTM ini mampu memasok daya hingga sepuluh Megawatt.

Semua pihak berharap, tambahan pasokan listrik ini dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, mengurangi laju warga yang merantau, dan turut membantu upaya pelestarian budaya setempat.

“Dengan pendirian PLTM Ma’dong Paku ini, kami berupaya agar peran listrik juga dirasakan hingga pelosok,” ungkap Elan Badral Fuadi selaku Direktur Utama PT Nagata Dinamika dalam kesempatan berbeda. “Hal ini kami lakukan sebagai bentuk dukungan kami terhadap pertumbuhan ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah itu.”

Alang, atau lumbung padi, di Lembang Paku. Lumbung berfungsi sebagai tempat mengaso usai dari ladang, hingga menyelenggarakan upacara adat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Matius Sambulih, seorang warga Paku yang hadir dan duduk di lumbung padi, mengatakan bahwa sebagian besar rumah telah teraliri listrik PLN. Hanya sebagian kecil yang belum mendapatkan aliran listrik, termasuk rumahnya. "Keadaan listrik di kampung sini kadang-kadang padam. Lamanya tak tentu, bisa dua jam bisa satu malam satu hari."

Awalnya, Matius dan beberapa warga Paku keberatan soal pembebasan lahan seluas sebelas hektar di Ma'dong dan Paku untuk pendirian PLTM. Namun, setelah mengetahui kemaslahatannya, mereka tampaknya menyetujui dan mendukung program ini.

"Setuju karena ada harapan listrik lebih baik lagi," ujarnya. "Juga ada kabar nanti orang-orang yang bekerja untuk pembangunan turbin diutamakan dari penduduk sini." Lalu dia menambahkan, "Rumah saya paling ujung, paling dekat dengan turbin," ungkap Matius. "Mudah-mudahan bisa menjadi petugas turbin."

"Harapan kami", ujar Matius seraya menerawang, "katanya 'akan muncul sinar terang dari Paku untuk seluruh tanah Toraja'."

Matius masih ingat janji Bupati Toraja Utara Frederick Batti Sorring tatkala upacara peletakan batu pertama di lokasi PLTM Ma'dong Paku pada Februari 2014. "Harapan kami", ujar Matius seraya menerawang, "katanya 'akan muncul sinar terang dari Paku untuk seluruh tanah Toraja'."

Halimun sore merambahi bukit-bukit karst, sementara gerimis masih berderai di lumbung padi warga Lembang Paku. Sembari menari Ma’gellu, Nenek Rappa’ berkata kepada saya dengan bahasa Toraja yang tidak saya mengerti. Berulang kali dia berkata sambil menunjuk ikat kepala yang dikenakannya.

Belakangan ketika saya beranjak pamit, seorang warga memberi tahu kepada saya tentang apa yang disampaikan si nenek, “Acara ini sudah berakhir, silakan Anda menyawer di sini.”

Bentang alam perbukitan di Toraja Utara, tempat persemayaman kebudayaan dan kearifan warga Toraja yang hidup berkelindan dengan semesta. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)