Menanti Kabar Baik Tarian Leluhur dari Perbukitan Toraja Utara

By , Sabtu, 3 Januari 2015 | 16:30 WIB

Sore itu hujan gerimis berderai di atap lumbung padi dalam tradisi Toraja. Dalam naungan kolong lumbung, seorang perempuan tua renta menguarkan senandung mantra. Kemudian diikuti oleh sepuluh perempuan lainya yang usianya lebih muda.

Indo’ Rappa’, demikian sang nenek itu disapa, tidak tahu kapan pastinya dia dilahirkan—begitu umumnya warga senior di Toraja. Tampaknya usianya kini sudah lebih dari 75 tahun. Dia berbusana warna jambon yang berpadu dengan sarung tenun tradisional yang berwarna hijau. Dia juga mengenakan sokko, ikat kepala dengan hiasan rotting atau bunga-bunga dari bulu ayam.

“Ini tarian Ma’dandan, biasanya ada 30-an orang yang menari,” ujar Nenek Rappa'.

Bak seorang syaman, Nenek Rappa’ berdiri sembari menggerakkan tongkat berukir, teken. Dia memutar tongkat itu ke kiri dan ke kanan, tanpa mengubah tumpuannya. Untaian perada yang berkilauan dari kepala hingga ke dadanya pun menjuntai. Para penari lainnya mengikuti gerakan dan senandung Nenek Rappa'. Sejenak alunan mantra mereka menguarkan suasana magis.

!break!

Lumbung padi itu milik warga Lembang Paku, Kecamatan Denpina, Toraja Utara. Beberapa warga dan anak-anak duduk di alle, tikar khas Toraja yang terbuat dari daun tuyu, sejenis tanaman air yang tumbuh di sawah. Kawasan desa ini berada di pedalaman perbukitan Toraja, sekitar 26 kilometer dari Rantepao, Sulawesi Selatan. Budaya agraris masih manjadi karakter dalam setiap upacara adat di desa ini lantaran semua warga yang tinggal di desa ini adalah petani.

“Ini tarian Ma’dandan, biasanya ada 30-an orang yang menari,” ujar Nenek Rappa' dengan bahasa Indonesia patah-patah. Dia memang tidak lancar berbahasa Indonesia, namun warga setempat bergantian menjadi penerjemah untuk saya.

Nenek Indo' Rappa' (mengenakan ikat kepala) bersama para penari Ma'dandan di salah satu kolong lumbung Lembang Paku, Kecamatan Denpina, Toraja Utara. Mereka kerap mengaso hingga menyambut kedatangan tetamu di lumpung tersebut (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Mereka baru saja mementaskan cuplikan tarian Ma’dandan. Dalam pentas sesungguhnya mereka berbusana serba kuning dan semuanya membawa tongkat kayu. Gerakannya bersahaja, hanya menggerakkan tongkat, sementara kaki tetap terpaku di tanah. “Biasanya dipentaskan dalam syukuran rumah tongkonan bersama tarian Ma'nimbong oleh para lelaki.”

!break!
“Tarian ini bercerita tentang kerbau yang bagian dahinya putih. Tedong todi namanya, kerbau yang diyakini lebih sakral atau suci daripada kerbau-kerbau lainnya."

Tongkonan, dalam tradisi Toraja, sejatinya mengacu pada gugusan rumah keluarga besar yang dipimpin oleh kepala adat. Namun, tongkonan juga bisa berarti rumah panggung tradisional Toraja. Di seberang rumah tongkonan itulah lumbung-lumbung padi dibangun berjajar. Bagi masyarakat agraris, seperti Desa Paku, lumbung merupakan tempat mengaso usai dari ladang, bercengekrama bersama keluarga, hingga arena perayaan adat—karena mirip balai-balai.

"Meskipun kami punya sepatu," ujar salah seorang penari yang di sebelah Nenek Rappa', "kami menari dengan begini saja dengan sandal jepit."

Saya menanyakan tentang makna simbolis dari tarian Ma’dandang. Beberapa penari tampak kesulitan memindai makna tarian tersebut. “Yang paling tahu hanya nenek Rappa,” ujar seorang penari lain dengan malu-malu. Kemudian setelah bertanya kepada Nenek Rappa’, dia berkata, “Tarian ini bercerita tentang kerbau yang bagian dahinya putih. Tedong todi namanya, kerbau suci."

Para perempuan penari Ma'dandan berbaris sejajar dengan para lelaki penari Ma'nimbong dalam upacara rambu tuka' yang digelar oleh Bupati Toraja Utara pada 2013. Kedua tari ini kerap dipentaskan untuk upacara syukuran rumah tongkonan atau pesta pernikahan adat Toraja. (Palty Osfred Silalahi/Nagata Dinamika)
!break!

Tedong todi merupakan salah satu kerbau yang dianggap sakral. Harganya lebih tinggi ketimbang kerbau hitam biasa, namun lebih murah ketimbang tedong bonga dan tedong saleko yang merupakan kerbau dengan belang di sekujur tubuhnya. Kerbau umumnya digunakan sebagai bentuk rasa syukur.

“Dalam cerita, kerbau dari sana,” ujar penari tadi sembari menunjuk arah mata air, “dibawa untuk syukuran rumah.” Kemudian dia melanjutkan, “Kerbau ini diyakini membawa berkat, dia masuk ke dalam tongkonan. Itu cerita warisan dari leluhur.”

“Kalau di kampung sini ada dua rambu, rambu tuka’ dan rambu solo',” ujar Yunus Kendek yang berkumis, Camat Denpina. “Kalau di kota tambah satu rambu lagi, rambu lalu lintas,” ujarnya sambil berkelakar. Tarian Ma’dandan kerap dipentaskan di acara rambu tuka’ sebagai ucapan rasa syukur, namun tidak dipentaskan dalam rambu solo' atau pesta orang mati. “Ma’dandan yang asli sudah jarang ditemui, salah satunya ada di Lembang Paku.”  

Tari Ma'gellu yang ceria dalam pesta rambu tuka' pada tahun lalu. Tarian ini terinspirasi dari kelincahan burung pipit, biasanya dipentaskan oleh para remaja yang menebarkan semarak pesona senyuman Toraja. (Palty Osfred Silalahi/Nagata Dinamika)
!break!

Kini, tidak semua desa memiliki penari tradisi Toraja ini. Nenek Rappa’ dan awak penarinya kerap ditanggap untuk upacara rambu tuka’ oleh desa lain, demikian ungkap Yunus. “Biasanya kalau pemerintah kabupaten yang mengundang itu sekitar sepuluh juta,” ujarnya. “Namun kalau ada upacara tongkonan di desa lain biasanya mereka mendapatkan sekitar dua puluh juta lebih untuk sekali pementasan.”

Tiba-tiba salah seorang penari membawa masuk sebuah jeriken kosong bekas minyak pelumas kendaraan. Kemudian dia menabuhnya dengan tempo agak cepat. Mendengar tetabuhan itu Nenek Rappa’ kembali menari—kali ini sendirian dan tanpa tongkat. Kakinya berderap di tempat, badannya berputar seraya mengangkat lengan bawahnya dan mengepak-ngapakkan dalam gerakan lambat. Dia melakukannya berulang kali, sambil sesekali melemparkan senyum simpulnya kepada saya. Lagak tarian ini riang dan sedikit kemayu. “Tari Ma’gellu,” ujarnya sambil menari-nari.

Tebing batu yang menjadi permakaman tradisi Toraja di antara Lembang Paku dan Lembang Ma'dong. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Tarian ini menyimbolkan burung pipit nan lincah dan riang. Biasanya dipentaskan untuk syukuran panen, upacara pernikahan adat, atau penerimaan tamu kehormatan.Umumnya, dipentaskan oleh perempuan muda yang memesona.

Mereka mengatakan, sebagian anggota keluarga mereka tengah merantau. Tampaknya, hasil merantau boleh jadi digunakan untuk upaya melestarian tradisi upacara adat Toraja yang kerap menghabiskan dana besar. Namun, mereka yang merantau pun kadang tidak bisa mempelajari kesenian tradisi leluhur. Pada akhirnya, mereka yang menetap di desa telah menjadi tulang punggung sang penerus tradisi.

Mereka yang merantau pun kadang tidak bisa mempelajari kesenian tradisi leluhur. Pada akhirnya, mereka yang menetap di desa telah menjadi tulang punggung sang penerus tradisi.

Sebuah perusahaan penyedia solusi listrik jangka panjang berbasis energi terbarukan, PT Nagata Dinamika (anak perusahaan PT Sumberdaya Sewatama), tengah mempersiapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) di kawasan Lembang Paku dan Lembang Ma’dong. Lewat debit Sungai Maiting yang dibendung, diharapkan PLTM ini mampu memasok daya hingga sepuluh Megawatt.

Semua pihak berharap, tambahan pasokan listrik ini dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan, mengurangi laju warga yang merantau, dan turut membantu upaya pelestarian budaya setempat.

“Dengan pendirian PLTM Ma’dong Paku ini, kami berupaya agar peran listrik juga dirasakan hingga pelosok,” ungkap Elan Badral Fuadi selaku Direktur Utama PT Nagata Dinamika dalam kesempatan berbeda. “Hal ini kami lakukan sebagai bentuk dukungan kami terhadap pertumbuhan ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah itu.”

Alang, atau lumbung padi, di Lembang Paku. Lumbung berfungsi sebagai tempat mengaso usai dari ladang, hingga menyelenggarakan upacara adat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
!break!

Matius Sambulih, seorang warga Paku yang hadir dan duduk di lumbung padi, mengatakan bahwa sebagian besar rumah telah teraliri listrik PLN. Hanya sebagian kecil yang belum mendapatkan aliran listrik, termasuk rumahnya. "Keadaan listrik di kampung sini kadang-kadang padam. Lamanya tak tentu, bisa dua jam bisa satu malam satu hari."

Awalnya, Matius dan beberapa warga Paku keberatan soal pembebasan lahan seluas sebelas hektar di Ma'dong dan Paku untuk pendirian PLTM. Namun, setelah mengetahui kemaslahatannya, mereka tampaknya menyetujui dan mendukung program ini.

"Setuju karena ada harapan listrik lebih baik lagi," ujarnya. "Juga ada kabar nanti orang-orang yang bekerja untuk pembangunan turbin diutamakan dari penduduk sini." Lalu dia menambahkan, "Rumah saya paling ujung, paling dekat dengan turbin," ungkap Matius. "Mudah-mudahan bisa menjadi petugas turbin."

"Harapan kami", ujar Matius seraya menerawang, "katanya 'akan muncul sinar terang dari Paku untuk seluruh tanah Toraja'."

Matius masih ingat janji Bupati Toraja Utara Frederick Batti Sorring tatkala upacara peletakan batu pertama di lokasi PLTM Ma'dong Paku pada Februari 2014. "Harapan kami", ujar Matius seraya menerawang, "katanya 'akan muncul sinar terang dari Paku untuk seluruh tanah Toraja'."

Halimun sore merambahi bukit-bukit karst, sementara gerimis masih berderai di lumbung padi warga Lembang Paku. Sembari menari Ma’gellu, Nenek Rappa’ berkata kepada saya dengan bahasa Toraja yang tidak saya mengerti. Berulang kali dia berkata sambil menunjuk ikat kepala yang dikenakannya.

Belakangan ketika saya beranjak pamit, seorang warga memberi tahu kepada saya tentang apa yang disampaikan si nenek, “Acara ini sudah berakhir, silakan Anda menyawer di sini.”

Bentang alam perbukitan di Toraja Utara, tempat persemayaman kebudayaan dan kearifan warga Toraja yang hidup berkelindan dengan semesta. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)