Kenapa Vaksin Disuntikkan di Lengan Atas, Bukan Diminum seperti Obat?

By Utomo Priyambodo, Senin, 1 November 2021 | 11:00 WIB
Ilustrasi vaksin. (Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Jumlah kasus aktif COVID-19 di Indonesia sudah semakin menurun. Salah satunya berkat keampuhan program vaksinasi.

Meski mayoritas orang antusias dengan program vaksinasi, tidak sedikit pula orang yang masih enggan atau menolak untuk divaksin. Banyak penyebabnya, mulai dari termakan kabar hoaks mengenai efek sampingnya, isu konspirasi, hingga sekadar takut disuntik.

Nah, pernahkan Anda bertanya-tanya kenapa vaksin diberikan lewat suntikan ke langan atas kita? Kenapa bukan diminum saja seperti kebanyakan obat yang dijual di apotek?

Sebagai contoh, berbagai jenis vaksin COVID-19, mulai dari buatan Sinovac, AstraZenecca, Moderna, hingga Pfizer, semuanya diberikan lewat suntikan ke tangan. Tepatnya, vaksin-vaksin ini disuntukkan ke deltoid, otot tebal dan berdaging di lengan atas kita.

Meskipun menggunakan berbagai teknologi yang berbeda, semua vaksin COVID-19 bertujuan untuk melakukan hal yang sama, yaitu memperkenalkan sistem kekebalan tubuh kita pada antigen, bagian spesifik dari organisme penyebab penyakit yang digunakan tubuh untuk mengidentifikasi penyerang. Upaya memperkenalkan antigen ini dengan sistem imun kita bertujuan untuk menopang pertahanan tubuh dalam melawan virus penyakit.

Lalu, mengapa vaksin ini disuntikkan ke otot? Kenapa tidak di lemak tepat di bawah kulit, atau di pembuluh darah, atau bahkan di atas hidung, mengingat di bagian itulah kemungkinan besar tubuh kita bakal menghadapi virus corona untuk pertama kalinya?

Atau bahkan, kenapa tidak diminum saja? Bukankah mulut lebih dekat dengan hidung? Kenapa harus disuntikkan di lengan atas yang agak jauh dari hidung kita?

Baca Juga: Vaksin COVID-19 Pfizer Tampaknya Juga Akan Diberikan kepada Anak SD

Pekerja kesehatan memvaksinasi seorang anak Indonesia pada akhir Februari 2007, di Jakarta. (Thinkstock)

Ada beberapa alasan bagus untuk mendukung suntikan otot dibandingkan rute lain. Joanna Groom, peneliti imunologi di Walter and Eliza Hall Institute, menjelaskan alasan-alasan tersebut

Pertama, kata Groom, tidak seperti lapisan lemak di bawah kulit kita, otot memiliki suplai darah yang sangat baik untuk membantu menyebarkan vaksin.

Otot mengandung dan merekrut sel-sel kekebalan yang disebut sel-sel dendritik. Sel-sel ini mengambil antigen dengan cepat dan menempelkannya di permukaannya seperti sebuah bendera.

Sel-sel dendritik kemudian bermigrasi dan masuk ke kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening adalah "semacam tempat pertemuan besar untuk sistem kekebalan tubuh," kata Groom, seperti dikutip dari ABC Science.

Baca Juga: 'Paspor Vaksin' Pertama Gara-gara Demam Kuning di Gibraltar 1800-an

Di kelenjar getah bening, sel-sel dendritik bertemu sel-sel T dan sel-sel B. Sel T dan sel B adalah sel-sel darah putih yang membantu mempertahankan tubuh kita dari patogen tertentu.

Sebuah sel dendritik akan menunjukkan benderanya ke sel-sel T dan B sampai menemukan sel T dan B yang mengenali antigen yang dibawanya. Sel dendritik ini kemudian memberi sel T dan B sinyal untuk berkembang biak dan sel B pun mulai membuat antibodi.

"Dalam kasus vaksin COVID-19, amplifikasi itu berarti mereka (sel-sel tersebut) dapat memblokir protein spike SARS-CoV-2 sehingga virus tidak bisa lagi masuk ke dalam sel," papar Groom.

"Tapi mereka (sel-sel it) juga mulai membentuk kumpulan memori berumur panjang, yang benar-benar kita inginkan dari hasil vaksin."

Baca Juga: Setelah Sekian Lama Melanda Dunia, Malaria Akhirnya Memiliki Vaksin

Seorang wanita berusia 39 tahun menjadi relawan pertama yang menerima vaksin eksperimental Ebola. (Gloria Samantha)

Alasan kedua, otot dapat membagikan vaksin ke sel-sel kekebalan kita dalam tempo tidak terlalu lambat, tetapi juga tidak terlalu cepat. Selain menyediakan kumpulan sel dendritik yang siap pakai, otot juga bertindak sebagai "deposit", di mana vaksin dapat bertahan beberapa saat dan digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Hal ini memungkinkan sesi pelatihan sistem kekebalan jadi diperpanjang, kata Groom. Sesi pelatihan sistem kekebalan yang lebih panjang ini "diperkirakan menghasilkan aktivasi sistem kekebalan secara maksimal."

Vaksin yang disuntikkan langsung ke aliran darah, di sisi lain, rentan terhadap kehancuran vaksin itu sendiri. "Ada sel-sel kekebalan nonspesifik lain yang dapat membersihkan vaksin dan mendegradasikannya sebelum memiliki kesempatan untuk mencapai kelenjar getah bening," jelas Groom. Jadi, tidak ada kesempatan untuk membagikan informasi antigen ini kepada sel-sel B dan T.

Selain lebih mudah dilakukan, menyuntikkan vaksin ke otot juga memiliki sedikit efek samping yang parah, dan secara keseluruhan menyebabkan peradangan lebih sedikit daripada vaksin di pembuluh darah.

Sebagian besar vaksin terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian antigen spesifik virus. Kedua, zat yang menciptakan respons imun yang lebih kuat yang disebut ajuvan.

"Ajuvan kadang-kadang dapat menyebabkan peradangan secara keseluruhan, lebih parah saat elalui rute intravena daripada ketika melalui jaringan," tutur Groom. "Otot membantu melokalisasi setiap reaksi merugikan ini dan meminimalkannya, jadi lebih aman."

Efek samping dari vaksin yang disuntikkan ke otot ini juga cenderung lebih ringan dibanding dengan vaksin tetes yang diberikan dengan cara diminum. Efek samping yang biasa terjadi setelah tubuh diberikan vaksin tetes adalah diare. Kondisi ini disebabkan karena vaksin akan langsung menuju ke saluran pencernaan setelah masuk ke dalam tubuh, sebagaimana ditulis oleh Halodoc.

Adapun efek samping yang muncul pada pemberian vaksin yang disuntikkan ke otot adalah terjadinya perubahan warna kulit menjadi kemerahan atau peradangan dan bengkak pada bagian tubuh yang disuntik. Terkadang, ada juga yang sampai demam.

Meski demikian, Groom mengatakan efek samping yang muncul ini adalah tanda bahwa sistem kekebalan kita bekerja sebagaimana seharusnya. Lengan kita yang sedikit merah atau kelenjar getah bening kita yang sedikit membengkak adalah tanda bahwa sistem imun kita masih aktif dan siap melawan patogen yang di masa depan mungkin masuk ke tubuh kita.