Setelah ekor pesawat AirAsia QZ8501 ditemukan, tantangan selanjutnya yang harus dihadapi oleh tim SAR gabungan adalah mengangkatnya ke permukaan. Penyelaman pun harus dilakukan untuk merencanakan skenario terbaik dalam pengangkatan ini.
Namun, penyelaman ini bukan sebuah kegiatan yang tanpa risiko. Apalagi, lumpur memenuhi kedalaman Selat Karimata. Ini menjadikan jarak pandang hanya nol meter.
Tapi lumpur bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi para penyelam. Kepala Dinas Penyelaman Bawah Air (Kadislambair) Armada Wilayah Barat (Armabar) TNI Angkatan Laut, Letkol Laut (T) Ferdy Hendarto Susilo mengatakan, tantangan lain yang harus dihadapi oleh seorang penyelam adalah penyakit dekompresi (decompression sicknes).
Dekompresi merupakan momok bagi setiap penyelam, bahkan untuk seorang profesional sekalipun. Ferdy menjelaskan, secara medis decompression sickness diartikan sebagai suatu keadaan ketika terjadi akumulasi nitrogen yang masih terlarut setelah menyelam, dan membentuk gelembung udara yang menyumbat aliran darah serta sistem syaraf.
Lalu, kenapa menjadi momok?
"Dekompresi itu seperti keadaan di mana kita seperti mau dijemput 'bidadari'," kata Ferdy saat berbincang dengan sejumlah awak media di Lanud Iskandar, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Kamis (8/1).
Ia mengungkapkan, ketika seorang penyelam mengalami dekompresi, maka penyakit yang ditimbulkan pun beragam, tergantung di mana penyumbatan nitrogen itu terjadi. Jika penyumbatan terjadi di tulang belakang, maka penyelam itu berisiko mengalami lumpuh. Sedangkan, jika penyumbatan terjadi di otak, maka akan menyebabkan seorang penyelam pingsan hingga akhirnya meninggal dunia akibat kehabisan oksigen.
!break!Dua cara atasi dekompresi
Untuk mengatasi persoalan dekompresi ini, TNI Angkatan Laut punya berbagai cara untuk mengatasinya. Cara modern yang dapat dilakukan adalah menggunakan alat bernama chamber decompression. Alat ini sejenis ruang berbentuk tabung yang memberikan oksigen murni bertekanan tinggi kepada seorang penyelam. Chamber decompression ini berfungsi untuk menetralisir sumbatan nitrogen yang berada di dalam tubuh.
"Sekarang kita sudah kirim chamber portable ke lokasi di mana para penyelam kita melakukan penyelaman," katanya.
Sementara itu, menurut Komandan Tim Penyelam TNI AL, Kapten Laut Pelaut Edi Tirtayasa, ada cara lain yang lebih mudah untuk mengatasi persoalan dekompresi. Cara itu adalah dengan cara membuat simpul selam.
Ketika sebuah tim berencana melakukan penyelaman, maka orang yang pertama melakukan penyelaman akan membawa tali untuk diikat di dasar laut. Edi menjelaskan, penyelam pertama lantas akan membuat simpul pada tali yang dibawanya.
Simpul itu menjadi tanda bahwa di titik itu penyelam selanjutnya harus berhenti dan mengatur ritme nafasnya. Tujuannya, agar nitrogen yang masuk ke dalam tubuh tidak berlebihan. Di samping itu, simpul tersebut juga menjadi tanda sudah berada di kedalaman manakah seorang penyelam.
"Di dalam itu kan gelap, visibility nol meter. Nah itu juga jadi tanda," katanya.
Edi menambahkan, seorang penyelam yang melakukan penyelaman akan didampingi oleh seorang pencatat waktu (checker). Pencatat waktu itu bertugas untuk memastikan agar seorang penyelam tidak overtime atau terlalu lama ketika melakukan penyelaman. Jika tidak, maka efek dekompresi akan dirasakan lebih cepat.
Lebih jauh, ia menuturkan, seorang penyelam yang baru saja turun ke dalam air tidak dapat langsung terjun kembali. Dibutuhkan waktu minimal 12 jam untuk mengembalikan kondisi tubuh seperti semula.
"Makanya, kalau repetitive dive (menyelam lebih dari satu kali) si penyelam harus dimasukkan ke chamber. Tujuannya untuk meneteralisir kadar nitrogen pada tubuh secara cepat setelah menyelam pertama," ujarnya.
!break!Predator Laut
Dalam keadaan damai seperti saat ini, tak jarang seorang tentara ditugaskan untuk melakukan operasi selain perang (MOOT—military operation other than war). Salah satu operasi yang dilakukan adalah seperti saat ini, melakukan upaya pencarian korban dan pesawat AirAsia QZ8501.
Kebetulan, upaya penyelamatan yang harus dilakukan adalah dengan cara penyelaman ke dasar laut untuk mengangkat badan pesawat dan jenazah jika memang ditemukan masih berada di dasar laut.
Edi mengatakan, dekompresi memang menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi penyelam. Namun, ada tantangan lain yang tak kalah penting yang harus dihadapi oleh seorang penyelam.
"Di daerah penyelaman yang kita hadapi sekarang ini berlumpur, jadi predator laut itu kadang banyak yang sembunyi," katanya.
Predator laut, kata dia, banyak macamnya seperti hiu, ular laut, ikan pari dan benang laut. Namun, dari empat predator, yang paling dikhawatirkan adalah ular laut dan benang laut. Benang laut ini cukup berbahaya, karena bentuknya yang tipis namun jika masuk ke dalam kulit dapat membuat kulit kita terbakar.
"Sedangkan, kalau ular laut ini jika kita digigit maka racunnya dapat mematikan kita dalam waktu kurang dari satu menit," katanya.
Upaya pencarian jenazah penumpang hingga kini memang masih terus dilakukan. Namun, para penyelam ini juga harus dihadapkan pada tugas besar lainnya yakni mengangkat ekor pesawat tersebut. Sebab, di ekor itu terdapat kotak hitam yang dapat mengungkap tabir di balik terjadinya peristiwa kecelakaan ini.
Pihak keluarga tentu bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat keluarga mereka harus mengalami kecelakaan ini. Para penyelam ini tentunya juga harus berhati-hati dalam bertugas. Karena di tangan mereka lah salah satu kunci keberhasilan pengungkapan kasus kecelakaan ini berada.