Mendarat di Ibu Kota dengan Bantuan Lampu Tukang Ojek

By , Minggu, 11 Januari 2015 | 10:22 WIB

"Kalau di Jakarta aja gini, gimana di daerah lain ya?". Pertanyaan itu terlontar secara tiba-tiba dari mulut salah satu rekan saya saat tiba di Landasan Udara Pondok Cabe, Ciputat, Jakarta, Jumat (9/1) malam. Sudah sepuluh hari terakhir, saya bersama rekan saya sesama jurnalis meliput proses pencarian korban dan pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Laut Jawa pada 28 Desember 2014.

Tiga hari setelah proses pencarian dimulai, saya akhirnya mendapatkan tugas untuk menuju Pangkalan Bun, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah yang menjadi pusat pencarian AirAsia QZ8501. Berbekal informasi yang ada, akhirnya saya terbang ke Pangkalan Bun bersama sekitar 50 jurnalis lainnya dengan menumpang pesawat Hercules C-130 milik TNI Angkatan Udara.

Jujur saja, peristiwa hilangnya pesawat yang menimpa 155 penumpang dan tujuh kru itu membuat saya sedikit khawatir manakala harus bepergian dengan menggunakan pesawat komersil. Beruntung, ada pesawat milik TNI AU yang setidaknya saya anggap 'lebih aman' dari pesawat komersial pada umumnya.

!break!

Mulai ragu

Sejak awal tiba di Pangkalan Bun, saya berniat ingin berada di kota kecil ini setidaknya hingga kotak hitam pesawat itu ditemukan. Pikiran saya saat itu, "jangan sampai nanggung". Pasalnya, bukan kali ini saja saya harus melewatkan "gong" dari sebuah peristiwa besar.

Hari kedelapan saya berada di Pangkalan Bun, atau hari kesebelas pencarian, harapan untuk mengungkap misteri hilangnya AirAsia QZ8501 muncul. Tim penyelam TNI Angkatan Laut berhasil menemukan ekor pesawat yang diyakini menjadi tempat kotak hitam berada. Lega sudah rasanya. Meski kotak hitam itu ditemukan, namun belum diangkat. Setidaknya, saya bisa pulang dengan membawa kabar bagus.

Pesawat CN 295 milik TNI Angkatan Udara yang diparkir bersama helikopter Super Puma di Lapangan Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. (Efan Ekananda/National Geographic Indonesia)

Kamis (8/1) pagi, setelah diskusi dengan atasan akhirnya diputuskan bahwa saya harus pulang ke Jakarta. Ada rekan saya lain yang akan menggantikan posisi saya di Pangkalan Bun ini. Selain itu, ada rasa kangen juga untuk kembali ke ibu kota.

Keesokan harinya, waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB saat saya tiba di Landasan Udara Iskandar, Pangkalan Bun. Ada rasa ragu untuk pulang ketika saya melihat dua pesawat maskapai komersil landing di Lanud Iskandar. Bayangan kekhawatiran itu muncul kembali. Siluet gambaran peristiwa yang menimpa QZ8501 pun terbayang di pikiran saya.

Sayangnya, setelah beberapa hari terakhir sejak penemuan jenazah pertama, tidak ada lagi pesawat TNI yang terbang langsung ke Jakarta. Pesawat itu akan terbang ke Surabaya terlebih dahulu untuk mengantar jenazah penumpang AirAsia sebelum akhirnya bertolak ke Surabaya. Mau tidak mau, akhirnya saya harus mempercayakan penerbangan saya kepada salah satu maskapai penerbangan komersial yang ada di Pangkalan Bun.

Pesawat CN 295 yang memperkuat armada tempur TNI Angkatan Laut Republik Indonesia ini diproduksi oleh PT Dirgantara Indonesia. Pesawat tampak sedang mengisi ulang bahan bakar di Lapangan Udara Iskandar, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. (Efan Ekananda/National Geographic Indonesia)

!break!

Halim ke Pondok Cabe

Jumat sore, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Rupanya, rekan saya sesama jurnalis memberitahukan ada pesawat TNI yang akan lepas landas ke Halim. Belum sempat berpamitan, saya segera berlari ke runway, karena menurut pesan itu, pesawat tersebut tengah bersiap untuk berangkat.