Melindungi Alam dalam Jalinan Tradisi

By , Senin, 12 Januari 2015 | 14:44 WIB

GreenIndonesia dan enam mitra komunitas masyarakat adat berpartisipasi dalam Reiselivsmessen 2015, sebuah pameran pariwisata terbesar di Skandinavia, yang berlangsung pada 9–11 Januari lalu di Oslo, Norwegia.

"GreenIndonesia menjadi berita utama di Reiselivsmessen Oslo, dengan menampilkan masyarakat yang menerapkan ekonomi hijau untuk melindungi hutan tropis dan keanekaragaman hayati. Bersama-sama mereka menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi hijau yang tangguh masih mungkin dijalankan ketika hak atas tanah masyarakat lokal dan integritas ekosistem alam sama-sama dilindungi," demikian dilansir dalam siaran persnya, Senin (12/1) ini.

Salah satu perwakilan komunitas adat di Reiselivsmesen yakni Ibu Petronela Pihu, manajer pemasaran dari Paluanda Lama Hamu, kelompok tenun tradisional dari Pulau Sumba Timur. Dia berasal dari keluarga penenun yang bekerja dengan menggunakan banyak tanaman lokal sebagai pewarna yang unik sambil tetap memperhatikan cara menjaga lingkungan tempat tanaman itu tumbuh.

Budidaya pewarna alami dan penggunaannya dalam industri tekstil Indonesia telah memudar, menyebabkan kekuatan kompetisi ekonomi penenun perempuan di Indonesia melemah dan mengancam budaya serta keanekaragaman hayati tanaman.

Melalui GreenIndonesia, perempuan penenun dari seluruh Indonesia, seperti perempuan penenun dari Mollo, di bagian barat Pulau Timor ini mulai menghubungkan, membagi pengetahuan, dan menjaga tradisi mereka agar hidup kembali.

Mama Aleta Baun, perempuan tokoh adat dari Mollo, Timor Tengah Selatan NTT, menunjukan sebuah bukit batu yang pernah ditambang oleh perusahaan. Kini bukit itu dan wilayah sekitarnya dikuasai oleh masyarakat adat. (Feri Latief)

Di Mollo, "Mama Aleta" Baun, panggilan akrab dari orang-orang sekitarnya, memimpin  sebuah kelompok yang terdiri dari 150 penenun perempuan untuk memprotes tambang marmer selama lebih dari setahun. Kegiatan tambang telah merusak hutan Mollo dan mengancam kualitas air yang mengalir dari langsung ke wilayah mereka. Sebaliknya, para laki-laki membantu aksi protes tersebut dengan menggantikan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan secara tradisional oleh para perempuan.

Keberhasilan dari aksi protes tersebut membuat  empat pertambangan yang beroperasi di wilayah Mollo menghentikan aktivitas mereka, aksi tersebut membawa Mama Aleta meraih penghargaan Goldman Prize Award, ia bersama beberapa tokoh masyarakat adat lainya hingga kini tetap menjaga tanah dan tradisi mereka.

Lokasi tambang yang ditinggalkan sekarang menjadi pusat komunitas dan rumah bagi para tamu yang berkunjung ke Mollo, di mana wisatawan bisa tinggal dan menikmati demonstrasi tenun dan pertunjukan budaya. Pegunungan Mutis, lokasi  di mana resort bernuansa pedesaan ini berada, menawarkan pemandangan hutan hijau dengan mata air, tempat masyarakat Timor tergantung.

Tiga mitra lainnya juga memiliki kisah inspiratif yang sukses. Komunitas Hutan Adat Guguk di Provinsi Jambi, Sumatra, misalnya, tetap bertahan meski kondisi penebangan liar dan ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi di wilayah dan teluk mereka. Hutan mereka telah memberikan perlindungan bagi harimau sumatra yang sangat langka, yang hingga kini populasinya telah berkurang menjadi sekitar 250 ekor.

Masyarakat Sawai, di Seram, Maluku, telah berubah selama beberapa dekade terakhir dari pemburu burung langka untuk diperdagangkan hidup-hidup secara illegal menjadi pengelola hutan lestari dari salah satu surga bagi para pengamat burung di Indonesia Timur.

Sementara Masyarakat Jatiluwih di Bali—tempat tujuan wisata terbesar di Indonesia—menjaga sumber daya air murni melalui Subak, sistem pengelolaan air kuno yang dipandu oleh filosofi hidup Tri Hita Karana. Filosofi ini menekankan pada tiga sumber kebaikan yang memandu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, masyarakat dan dengan alam.!break!

GreenIndonesia melihat ada potensi yang signifikan dari pariwisata berbasis eko-budaya. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa dari 26 persen jumlah populasi wisata, aspek keberlanjutan dan tanggung jawab memainkan peranan penting dalam dalam pengambilan keputusan para wisatawan.

"Ada pasar yang cukup besar bagi para wisatawan yang menyukai petualangan," ujar Chandra Kirana, inisiator GreenIndonesia. "Wisatawan ini ingin menjelajahi tempat-tempat baru dan budaya-budaya berbeda sambil membawa perubahan positif untuk tempat-tempat itu. Indonesia diberkahi sejumlah tempat menakjubkan yang belum dijelajahi, dengan budaya yang sangat kaya dan beragam."

Di kampung Waitabar, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, kampung asli tradisi megalitik yang masih takluk
sepenuhnya dalam aturan adat. Sore hari beberapa warga terlihat beraktivitas di depan rumah mereka. (Mitu M.Prie/Fotokita.net)

Partisipasi GreenIndonesia dalam pameran Reiselvsmessen ini disponsori oleh Kedutaan Besar Indonesia di Oslo, didukung serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia. Dukungan ini mencerminkan fokus pemerintah dalam menangani perubahan iklim dan hak masyarakat adat.

Yuwono A. Putranto, Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, mengatakan, "Ini juga merupakan pendekatan inovatif untuk memperkuat kesadaran masyarakat tentang upaya Indonesia dalam melestarikan lingkungan dan pada saat yang sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat."

Indonesia memiliki hutan hujan terluas ketiga di dunia, masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal dan bergantung pada hutan-hutan ini sebetulnya dapat memainkan peran penting dalam melestarikan hutan tersebut. Tingginya tantangan perubahan iklim global – termasuk diantaranya yang berasal dari deforestasi, menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.

Pun Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia yang saat ini tengah mencari jalur ekonomi hijau untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan.

Menurut Bank Dunia, dari 237 juta populasi Indonesia, lebih dari 28 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.