Pusparagam Mahakam Tengah, Denyut Pelestarian Lanskap Gambut

By Fikri Muhammad, Sabtu, 30 Oktober 2021 | 12:00 WIB
Kasni, 61 tahun,menganyam topi seraung yang dibuat dari daun telingsing. Tanaman ini hanya tumbuh di kawasan gambut. Masyarakat mulai berupaya mendayagunakan kawasan gambut secara berkelanjutan sebagai bagian untuk menyambung hidup. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Di sebuah rumah di Desa Muara Siran, Kalimantan Timur, ada sebuah tradisi yang diteruskan untuk memuliakan hutan. Sekaligus menjadi penanda bagaimana masyarakat dan hutan saling menjaga. Tradisi itu adalah membuat topi seraung.

Kasni, 61 tahun, telah belajar menganyam topi seraung untuk pergi ke ladang sedari dini. Topi ini dibuat dari daun yang hanya tumbuh di kawasan lahan gambut. Warga menyebutnya daun telingsing.

“Ini tradisi yang telah diajarkan leluhur kami dari dulu. Daunnya dari hutan. Kalau hutan habis, tidak ada daun ini, tidak bisa buat topi ini,” sebut Kasni sembari menyelesaikan topi anyamannya.

Tidak hanya untuk ke kebun, topi ini menjadi salah satu cendera mata bagi masyarakat yang datang berkunjung di Desa Muara Siran, Kalimantan Timur.

Lanskap Mahakam Tengah merupakan kawasan yang didominasi oleh perairan dan lahan hutan gambut. Suatu hal yang tidak mengherankan apabila masyarakatnya amat bergantung pada landskap tersebut.

Sebutan Mahakam Tengah merujuk pada bentang alam antara hulu dan muara Sungai Mahakam. Secara ekologis, bentang alamnya merupakan lahan basah. Lanskap ini terwujud atas beberapa ekosistem yang berkelindan: gambut, rawa, riparian, kerangas, dan perairan sungai serta danau.

Pada pertengahan September silam, tim National Geographic Indonesia menyingkap warna-warni kehidupan air hitam—sebutan kawasan gambut tepian Sungai Mahakam. Penugasan ini bertajuk ‘Pusparagam Mahakam Tengah’, sebuah perjalanan muhibah demi memahami keragaman hayati dan budaya lanskap Mahakam Tengah.

Fikri Muhammad dan fotografer Donny Fernando mengisahkan ancaman dan peluang kawasan dalam "Pusparagam Mahakaman Tengah, Pemetaan Permata Air Hitam" yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Edisi ini juga menyisipkan bonus peta dua sisi yang mendeskripsikan peta kawasan gambut, berikut dengan puspa dan satwa endemiknya.

Baca Juga: Carl Bock, Peneliti Eropa Pertama yang Menepis Stigma Suku Dayak

Perjumpaan arus dari Mahakam hulu dan arus 'air hitam' dari kawasan gambut Mahakam tengah, Kalimantan Timur. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Masyarakat landskap Mahakam tengah, Kalimantan Timur memiliki struktur rumah apung. Karena sangat dekat dengan pesisir sungai, hampir semua warga memiliki perahu sebagai transportasi utama. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)
Satwa endemik yang menghuninya pun beragam—dari nyaris terancam sampai terancam punah—di antaranya: Bekantan (Nasalis larvatus), elang-ikan kecil (Ichthyophaga humilis), ibis karau (Pseudibis davisoni), pari sungai raksasa (Urogymnus polylepis), kura-kura bergerigi (Cyclemys dentata), ikan parang-parang (Macrochirichthys macrochirus), dan pesut mahakam (Orcaella brevirostris).

Cerita ini mencoba melihat bagaimana pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Terutama keharmonisan antara manusia dan alam untuk hidup bersama di kawasan gambut. Beragam siasat untuk bertahan hidup dan memperoleh keuntungan materi sebesar-besarnya rasanya menjadi naluri manusia, tapi di lahan gambut, kerap terjadi penyalahgunaan lahan. Maka, pemetaan lahan gambut adalah dasar dari pengetahuan, baik yang berguna untuk pemanfaatan ekonomi maupun pelestarian alam. Ini juga sebagai salah satu upaya inventarisasi pemetaan kawasan gambut di Kalimantan Timur.

Supaya pemetaannya tepat sasaran, penugasan ini mencoba membelah sisi terdalam dari potensi masing-masing lanskap Mahakam Tengah. Ada yang nelayan, bertani, beternak, dan menjadikan daerahnya sebagai kawasan wisata. Supaya suatu kebijakan atau penggunaan lahan tidak sembarangan.

Baca Juga: Biawak Kalimantan Ungkap Peran Kebun Binatang dalam Perdagangan Satwa

Poster Sisi Peta—Harmoni Alam di Mahakam Tengah. Sisipan majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Poster ini mendapat apresiasi Best Edit dari National Geographic. (National Geographic Indonesia)

 

Mayoritas masyarakat landskap Mahakam Tengah memang nelayan. Ada danau, rawa, dan sungai yang tak habis-habis memanjakan isi perut mereka. Sementara hutan-hutan di sana menjadi tempat mereka untuk kebutuhan papan. Mata pencaharian lain seperti sarang burung walet, persawahan, sarang lebah, ternak kerbau rawa, dan gula aren juga menjadi penghasilan mereka.Selain itu, ada banyak kawasan yang menjadi tempat bagi para biota. Berbagai spesies mulai dari burung, primata, dan mamalia ada di sana. Juga, berbagai tanaman obat yang menjadi apotek alami bagi masyarakat hidup di hutan mereka. Di sisi lain, Sungai Mahakam dan beragam danau yang ada di sana juga dianugerahi oleh pesut mahakam, yang mana mamalia ini amat dilindungi dan menjadi sarana untuk memanjakan mata wisatawan.

Baca Juga: Memata-matai Kawanan Bekantan di Hutan Mangrove Teluk Semanting

Poster Sisi Seni—Pusparagam Mahakam Tengah. Sisipan majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Poster ini mendapat apresiasi Best Edit dari National Geographic. (National Geographic Indonesia)
Lokasi-lokasi yang menjadi jalur ekspedisi ini diantaranya seperti Desa Muarasiran, Desa Minta, Desa Pela, dan Desa Muhuran. Awalnya, kawasan ini adalah daerah kekuasaan Mulawarman dari Kerajaan Kutai pada abad ke-4 Masehi.

Kondisi lingkungan saat ini sedang tidak menentu. Prediksi iklim betul-betul tidak bisa ditebak. Makanya, masyarakat yang tadinya bekerja dengan cuaca yang bisa diprediksi sekarang meronta-ronta. Otomatis, hal ini mempengaruhi perilaku mereka. Di musim banjir yang seharusnya bisa diprediksi, justru bertambah panjang. Begitu juga kemarau. Banjir di Mahakam Tengah bukan menjadi momok mengerikan, justru itu waktu yang tepat untuk mereka buat cari ikan. Tapi kalau musim banjirnya lewat dari prediksi, kegiatan yang melibatkan komoditas lahan seperti sawah tidak akan maksimal. Di Kalimantan Timur, tata ruang menjadi amat penting. Sehingga ucapan-ucapan atau kampanye-kampanye tentang gambut sebagai cadangan karbon terbesar bukan semata jargon. Akan tetapi, betul-betul bisa dikelola dengan baik. Ada tempat-tempat di mana lahan pertanian bisa dilakukan, kawasan perairan bisa dimanfaatkan, kawasan hutan bisa dilestarikan. Masyarakatnya sendiri sudah sadar dengan hal itu, bahwa area-area mana saja yang bisa mereka kelola, tinggali, dan dijadikan lahan komersial. Jadi tidak sembarangan tanam komoditas tertentu atau penggunaan lahan lain yang tidak cocok dengan alamnya.

Pusparagam Mahakam Tengah didukung oleh GIZ PROPEAT Kerja Sama Jerman Indonesia.

Sampul majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Permata Air Hitam, Keajaiban Pusparagam Mahakam Tengah. Kehidupan kawasan gambut terancam surut, tetapi warga berupaya meneguhkan harmoni hidup. (National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Penemuan Dua Spesies Baru Kerang Air Tawar di Borneo yang Terancam