Kabut tebal menyelimuti kawasan Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di sela-sela hawa dingin menyengat, puluhan penari bertopeng hitam dan putih tampak berbaris, berderet sambil mengentak-entakkan tangan dan kaki. Entakannya menguarkan bau tanah yang baru saja disiram gerimis hujan.
Candi Sukuh menyimpan rekam jejak siklus manusia sejak proses penciptaan hingga bangkit setelah kematian (moksa). Di Candi Sukuh, siklus itu terukir di relief-relief batu yang menjadi bukti kembalinya kearifan lokal pada akhir masa Majapahit.
Di sela-sela dinding candi, suara gamelan menggema mengiringi gerakan. Di atas batu berbentuk kura-kura raksasa, seorang penari bertopeng hitam dengan mimik wajah menyeringai berdiri mengayun-ayunkan tongkat. Penari lain, yang juga membawa tongkat, bertopeng putih dengan kumis tebal melintang di atas bibir.
Mereka adalah Sabdo Palon dan Naya Genggong, dua abdi terkenal pada masa Brawijaya, raja terakhir Majapahit yang mulai surut kejayaannya pada abad ke-15. Keduanya memimpin barisan. Setelah beberapa kali membuat formasi gerakan, sekali mengentakkan tongkat, para prajurit topeng pun terkapar.
Dari relief yang terpahat di dinding Candi Sukuh, kisah Sabdo Palon-Naya Genggong ‘dihidupkan’ oleh seniman tari Suprapto Suryodharmo dalam acara Srawung Seni Candi, akhir tahun 2013. Dengan tema serupa, Srawung Seni Candi kembali diadakan untuk menutup tahun 2014.
Siang itu, ketika kabut mulai menyelimuti kawasan Candi Sukuh, kami bersama Gunawan, salah seorang penjaga candi, mencoba menelusuri cerita kisah penciptaan manusia ini.
Gunawan menunjukkan sosok Sabdo Palon-Naya Genggong terukir di salah satu panel batu yang ditata berjejer di teras halaman paling atas Candi Sukuh. Relief tersebut menjadi salah satu ciri khas candi yang terletak di lereng barat Gunung Lawu dengan ketinggian 910 meter di atas permukaan laut ini.
Untuk menuju lokasi candi, diperlukan waktu lebih kurang satu jam dari Kota Solo melalui jalanan menanjak dengan sudut kemiringan lebih dari 30 derajat.
Di kalangan arkeolog, Candi Sukuh memiliki bentuk langka dibandingkan dengan gaya percandian lain di Indonesia. Bersama Candi Cetho yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Candi Sukuh, kedua candi Hindu itu memiliki gaya arsitektur berbeda.
”Gaya arsitektur Sukuh dan Cetho kembali mengacu pada kebudayaan megalitik, masa sebelum Hindu-Buddha masuk Nusantara,” kata Timbul Haryono, guru besar arkeologi masa klasik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Arsitektur menyimpang
Menurut Timbul, arsitektur Candi Sukuh dinilai menyimpang dari ketentuan Wastu Widya, yaitu kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu. Denah Sukuh berbentuk teras berundak dengan halaman depan teras lebih luas daripada bagian belakang.
Denah semacam itu mirip bangunan punden berundak masa megalitik. Selain itu, bangunan suci Candi Sukuh juga diletakkan di bagian paling tinggi dan belakang. ”Ciri-ciri semacam itu jelas berasal dari masa megalitik,” kata Timbul.