Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta

By Galih Pranata, Senin, 1 November 2021 | 09:00 WIB
Potret para calon guru perempuan tengah dilatih keterampilannya untuk bekalnya menjadi guru perempuan. (van Deventer-Maas Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Pendidikan di Indonesia bermula pada adanya Politik Etis di Hindia Belanda untuk anak-anak pribumi yang diprakasai oleh van Deventer. Adanya Een Eereschuld (utang budi) Belanda kepada kaum pribumi, mendasari dibuatnya Politik Etis.

"Ia (Van Deventer) mengusulkan untuk melakukan program yang dapat memajukan kesejahteraan rakyat pribumi. Salah satu caranya adalah melalui pendidikan," tulis Oceani Enjang Mahistra.

Mahistra mengungkapnya dalam tulisan yang dimuat pada jurnal Candrasangkala, berjudul Sekolah Van Deventer Sekolah Guru Perempuan di Jawa 1918-1942, yang dipublikasikan pada tahun 2015.

Pendidikan bagi anak-anak pribumi mulanya hanya terbatas pada sekolah dasar, kemudian berkembang hingga ke jenjang sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi, walaupun melalui jalan yang sulit.

"Seiring dengan perkembangan zaman kondisi tersebut mulai berubah. Pemikiran-pemikiran tentang pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan di Hindia Belanda mulai tumbuh," tambah Mahistra.

Pendirian sekolah khusus perempuan mulanya didirikan oleh Dewi Sartika pada 1904. Ia merupakan pejuang pendidikan kaum perempuan, yang memberikan kontribusinya untuk meningkatkan derajat perempuan melalui pendidikan.

Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965

Lulusan Sekolah Kartini 1930. Pada akhir tahun 1930-an, tujuh Sekolah Kartini mengikutkan sekitar 1.500 anak setiap tahun (umumnya berlatar belakang sosial sederhana) untuk pendidikan yang baik. Namun, kegiatan mereka terhenti karena pendudukan Jerman atas Belanda pada 1940 dan pendudukan Jepang atas Hindia Belanda pada 1942. (Van Deventer-Maas Stichting)

Selain Dewi Sartika, munculnya Kartini sebagai revolusioner bagi martabat kaum perempuan menjadi catatan penting. Melalui surat-suratnya, ia menulis tentang kondisi yang dialami oleh para perempuan pribumi kala itu.

"Van Deventer sangat bersimpati dengan isi surat-surat Kartini, ia melihat bahwa tidak adanya kebebasan bagi kaum perempuan untuk bersekolah karena adanya adat istiadat yang melarang perempuan untuk bersekolah," imbuh Mahistra.

"Oleh karena itu, sebagai wujud kepeduliannya terhadap rakyat pribumi, terutama kaum perempuan pribumi, ia mendirikan sebuah sekolah Kartini. Sekolah ini didirikan untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak perempuan pribumi," sambungnya.

Baca Juga: Menyelisik Pendidikan Perempuan di Taman Siswa Awal Abad ke-20

Conrad Theodor 'Coen' van Deventer (29 September 1857 – 27 September 1915) adalah seorang pengacara Belanda, penulis tentang Hindia Belanda dan anggota Dewan Negara Belanda. Ia dikenal sebagai juru bicara Gerakan Politik Etis Belanda. (Wikimedia Commons)

Pasca meninggalnya Van Deventer, kerabat terdekatnya berinisiatif untuk turut melanjutkan perjuangannya dalam membela hak-hak kaum perempuan. "Mereka, orang-orang terdekat Van Deventer mendirikan van Deventer Vereniging tahun 1917," lanjutnya.

Salah satu program dari Van Deventer Vereniging adalah pendirian sekolah bagi perempuan di Solo pada tahun 1918. Sekolah van Deventer mulanya berbentuk sebagai Sekolah Guru Frobelkweekschool (Taman Kanak-kanak).

"Frobelkweekschool kemudian berkembang terus menjadi Sekolah Nijverheidschool (Kepandaian Putri)," tambahnya. Sekolah ini berfokus pada pendidikan untuk guru dalam mendidik kaum perempuan pribumi agar terampil.

"Kurikulum yang diajarkan di Sekolah van Deventer juga berupa Normalschool, sehingga lulusan dari Sekolah van Deventer dapat menjadi guru di sekolah pemerintah dan guru untuk mata pelajaran keterampilan perempuan di sekolah khusus perempuan," ungkap Mahistra.

Hal menarik dari salah satu kurikulumnya adalah mengajarkan perempuan hidup tangguh dan mandiri. "Perempuan dianggap sebagai sarana pembinaan keluarga dan tempat pelestarian budi pekerti sebagai dasar penanaman moral untuk hidup bermasyarakat sehingga dapat melepaskan hidup (mandiri) dari ketergantungan kaum laki-laki," jelasnya.

Baca Juga: Mengenal Sisi Lain Kartini Lewat 'Kotak Jahit' dan Surat-Surat yang Hilang

Relief perunggu Mr C.Th. van Deventer, diproduksi oleh J.C. Schultsz dan dipresentasikan kepada Indisch Genootschap di Den Haag pada 26 Mei 1917. (KITLV)

Utamanya di Solo, sebagai pusat peradaban Jawa, citra perempuannya di masa lampau terbatas pada kehidupan rumah tangga, sehingga kehidupannya selalu tergantung pada kaum laki-laki sebagai pencari nafkah.

"Sekolah van Deventer berupaya melampaui hal itu. Hal inilah yang mengubah citra masyarakat pribumi tradisional terhadap kaum perempuan," tambahnya. Dengan keterampilannya, mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.

Baca Juga: Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda

Sekolah Van Deventer. Yayasan Kartini, Yayasan Van Deventer, Yayasan Tjandi dan Yayasan Max Havelaar berada dalam payung Van Deventer-Maas Stichting. Yayasan-yayasan itu bertujuan untuk mempromosikan pendidikan anak-anak Hindia Belanda. (Van Deventer-Maas Stichting)

"Kehadiran guru perempuan telah mengangkat harkat dan derajat kaumnya serta menjadi daya tarik bagi murid-murid perempuan untuk bersekolah," lanjut Mahistra. Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan baru di dalam masyarakat pribumi terhadap kaum perempuan yang selama ini dikucilkan dalam lingkungan masyarakat.

"Perempuan pribumi pada saat itu merasa sangat beruntung dengan adanya Sekolah van Deventer. Setelah tamat dari sekolah itu bisa langsung bekerja sebagai guru taman kanak-kanak, guru sekolah rakyat atau guru di sekolah kepandaian putri," pungkasnya.

Guru perempuan kemudian dianggap menjadi penting perannya di wilayah Surakarta. Adab-adab dan unggah-ungguhnya dapat membentuk perempuan Jawa dalam hidup yang berbudi pekerti luhur, serta tangguh dan mandiri.