Berburu Migas di Batuan Serpih

By , Rabu, 4 Februari 2015 | 18:30 WIB

Penyusutan cadangan minyak dan gas bumi mendorong pencariannya di lapisan lebih dalam perut bumi. Eksplorasi itu menemukan migas terperangkap di batuan serpih atau ”shale”, pada kedalaman 6.000 meter. Penerapan teknologi perekahan atau ”fracking” bisa mengangkat migas di batuan serpih ini.

Minyak dan gas bumi telah digunakan sejak dulu, di masa Mesir dan Tiongkok kuno. Bahkan, pemakaian gas alam atau metana dimulai lebih dulu daripada minyak yakni 600 Sebelum Masehi (SM) oleh bangsa Tiongkok.

Gas maupun gas bumi terbentuk lewat ”pemasakan” atau ”pematangan” endapan fosil pada suhu dan tekanan tinggi di lapisan bebatuan lempung. Itu berlangsung ribuan tahun.

Tempo dulu, migas yang dimanfaatkan terbatas yang ada di permukaan. Sumber energi itu merembes naik melalui celah batuan yang dipicu proses geologis atau tektonik.

Karena tereksploitasi selama ratusan hingga ribuan tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, cadangan migas lambat laun tak lagi tersedia ”di atas meja”. Pencarian pun mulai mengarah ke ”dapurnya” di perut bumi, melalui pengeboran.

Pengeboran paling awal dirintis Tiongkok pada abad ke-4. Mereka mampu menembus batuan hingga kedalaman 243 meter, meski dengan alat sederhana yakni gurdi atau mata bor yang ditempelkan di ujung bambu sambung-menyambung, berfungsi sebagai pipa. Penambangannya memakai tali dan diangkat secara manual atau menggunakan tenaga hewan ternak.

Penemuan mesin uap pada pertengahan abad ke-19 mengubah cara pengeboran migas. Sistem bor bertenaga mesin dikenalkan pertama kali oleh insinyur Rusia FN Semyonov pada 1848. Lalu dikembangkan ke skala industri oleh Edwin L Drake pada 1859, membuka ladang migas dekat Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat.

Pengeboran paling awal dirintis Tiongkok pada abad ke-4.

Teknologi pengeboran itu dibawa ke bumi Nusantara 12 tahun kemudian oleh J Reenrink asal Belanda, pada 1871. Lalu pemanfaatannya diperluas oleh Aeiko Janszoon Zijlker. Temuan minyak dalam jumlah signifikan di Langkat, Sumatera Utara, pada 15 juni 1885 jadi awal industri perminyakan Indonesia.

Dalam pencarian minyak bumi di Langkat itu, Zijlker juga menemukan sumber gas alam. Namun saat itu gas alam tak dimanfaatkan sebagai sumber energi. Pemakaian gas alam baru dilakukan pada masa Kemerdekaan RI, yaitu tahun 1960-an di Sumatera Selatan dan Aceh.

Pekerja kasar berdiri di atas dek dan menarik pipa pengeboran baja yang berat sepanjang tiga kilometer, saat minyak dan gas alam dimuntahkan dari sumur. Setiap bagian memiliki panjang 9,75 meter. Pekerjaan berat yang berbahaya di anjungan minyak ini berpenghasilan hingga Rp1,2 miliar per tahun. Pekerjaan yang merupakan dampak penemuan ladang minyak baru di AS ini bisa Anda simak dalam NGI Maret 2013. (Eugene Richards)

Pada abad 19, era awal pengeboran bertenaga mekanik, dikenalkan pompa angguk. Pompa itu terdiri dari mesin penggerak poros piston dan tiang pengungkit yang bergerak mengangguk untuk menyedot minyak di dalam sumur. Dengan konstruksi itu, sekali anggukan dikeluarkan 5-40 liter minyak.

Pompa itu hanya mampu untuk sumur dangkal. Karena itu, belakangan digantikan dengan rig untuk mengebor sumur dalam. Rig berupa menara sebagai tiang penyangga sistem bor yang melubangi dan memasukkan pipa ke dalam sumur.

Ada beragam cara pengeboran antara lain memakai penggerak kompresor, dan memutar pipa bor dengan tenaga hidraulik atau sistem vibrasi. Untuk menembus batuan keras dipakai mata bor dari berlian (polycristalline diamond compact). Pengeborannya bisa menembus batuan keras hingga kedalaman ribuan meter. Kini, eksploitasi minyak umumnya di 5.000 meter di bawah permukaan tanah.!break!

Migas serpihEksploitasi migas selama berabad lalu menguras cadangannya di kedalaman skala menengah. Jadi, perlu pengeboran lebih dalam, yakni ke lapisan batuan serpih sekitar 6.000 meter.