Berburu Migas di Batuan Serpih

By , Rabu, 4 Februari 2015 | 18:30 WIB

Lapisan itu terdiri dari batuan sedimen halus, berupa lempung yang ”menyerpih”, berlapis-lapis tipis dengan ketebalan sekitar satu milimeter. Itulah batuan serpih. Di dalamnya mengandung material organik disebut batuan induk.

Riset geologi menunjukkan, dari ”dapur” di batuan serpih itu hanya terlepas 30–40 persen migas, merembes ke lapisan batuan di atasnya. Sumber minyak itu selama ini dieksploitasi atau disedot. Sekitar 60-70 persen masih di batuan serpih, disebut minyak serpih (shale oil) dan gas serpih (shale gas). Migas serpih juga disebut migas non konvensional.!break!

Pengeboran horizontalHarta karun emas hitam itu kini jadi buruan. Untuk menembus batuan berbutir halus dan amat padat itu, digunakan teknologi khusus, di antaranya teknologi perekahan (fracking) berbasis tenaga hidrolik untuk menguak batuan hingga melepas migas yang terperangkap. Teknologi itu antara lain dikembangkan para peneliti di United States Geological Survey (USGS) sejak 40 tahun silam.

Mereka juga merancang sistem injeksi air dan pasir propan untuk menembus batuan bertekanan tinggi dan mengembangkan teknik pengeboran horizontal menyusuri lapisan serpih. Adapun cara konvensional memakai pengeboran vertikal.

Deposit di batuan serpih menyumbang 11 persen cadangan minyak dunia. Menurut Badan Informasi Energi AS, cadangan minyak serpih dari 41 negara 345 miliar barrel, di antaranya dari AS 58 miliar barrel pada 2013. Adapun cadangan gas serpih global pada 2013 naik dari 7.299 triliun kaki kubik (TCF). Produksi gas serpih diprediksi naik hingga 12 persen total suplai dunia menjelang 2035, setara 14 juta barrel minyak per hari.!break!

Potensi di IndonesiaPotensi gas serpih di Indonesia menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 574 TCF, lebih besar dibandingkan dengan gas bumi 334,5 TCF. Potensi itu terpendam di 7 cekungan, yaitu Baong, Telisa, dan Gumai di Sumatera, sedangkan di Jawa dan Kalimantan masing-masing 2 cekungan. Riset gas serpih pun dilakukan di Sulawesi dan Papua.

Penemuan sumber energi itu mendorong pemerintah untuk mempercepat pengembangan Migas Non Konvensional sesuai visi dan misi Kementerian ESDM 2015-2019. Itu untuk memperkuat ketahanan energi nasional, menurunkan harga bahan bakar minyak, dan menekan emisi gas karbon.

”Jika potensi itu dikembangkan di Indonesia, dapat memenuhi kebutuhan energi domestik, bahkan dapat kembali menjadi pengekspor migas pada masa mendatang,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM saat itu, Naryanto Wagimin, Januari lalu.

Sejak 2013, Pertamina melakukan studi geologi dan geofisika pencarian sumber gas serpih di Langkat, Sumatera Utara. ”Untuk eksplorasi pengeboran, perlu studi kelayakan teknik perekahan yang tepat untuk batuan di Indonesia karena usia batuan lebih muda sehingga sulit dipecahkan, dibandingkan batuan di AS, misalnya,” ujar Djedi S Widarto, Chief New Energy & Green Technology di Pusat Teknologi Hulu Pertamina.

Penelitian gas serpih di Indonesia juga dilakukan Lembaga Migas, dan sejumlah perguruan tinggi di antaranya Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Trisakti. Pihak swasta nasional yang terlibat antara lain PT Sugico, PT Ephindo, PT Medco Energy, dan PT Bukit Energy. Selain itu, ada Corelab lembaga riset asing.

Menurut pakar geofisika yang juga mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Rovicky Dwi Putrohari, riset batuan serpih di Indonesia relatif singkat dan hasilnya minim dibandingkan riset di negara maju. Karena itu, perlu keterbukaan data dan dukungan dana dari pemerintah dan semua pihak terkait.