Produksi Sawit Seharusnya Bisa Tanpa Mengubah Hutan dan Lahan Gambut

By Ricky Jenihansen, Kamis, 4 November 2021 | 15:00 WIB
Hutan hujan di Papua, salah satu tempat dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, terancam oleh deforestasi. (Mighty Earth)

Nationalgeographic.co.id—Minyak sawit merupakan sumber minyak nabati terpenting di seluruh dunia yang tumbuh di sebagian besar daerah tropis. Buah sawit kemudian dipanen secara manual setiap 10 hari hingga dua minggu, diangkut ke pabrik untuk diproses dan akhirnya dieksport. Minyak sawit selanjutnya dibuat menjadi berbagai macam produk, tidak hanya minyak goreng, dan menjadi banyak produk turunan.

Minyak sawit diubah menjadi bahan makanan, sabun hingga biodesel. "Anda mungkin makan minyak kelapa sawit untuk sarapan," kata Patricio Grassini, seorang profesor agronomi di University of Nebraska-Lincoln dalam rilisnya. "Mungkin ada minyak sawit di sampo Anda dan pasti minyak sawit di riasan (kosmetik) Anda."

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak sawit telah menarik perhatian peneliti. Meski ada lusinan negara di dunia memproduksi minyak kelapa sawit, tapi Indonesia memproduksi sekitar dua pertiga dari pasokan dunia dan permintaan produk akan terus meningkat.

"Ini adalah pedang bermata dua bagi Indonesia dan negara-negara penghasil minyak sawit lainnya. Minyak kelapa sawit adalah ekspor utama dan berkontribusi pada stabilitas ekonomi negara-negara produsen utama, serta petani individu yang memproduksinya. Tetapi untuk memenuhi permintaan, hutan hujan dan lahan gambut - ekosistem berharga yang berkontribusi besar terhadap keanekaragaman hayati, sering diubah menjadi produksi kelapa sawit," kata Grassini.

Sekarang, sebuah proyek penelitian empat tahun yang dipimpin oleh Grassini menunjukkan bahwa memenuhi permintaan tidak selalu berarti mengubah ekosistem yang lebih berharga dan rapuh menjadi lahan pertanian. Menurut penelitian itu, hasil kelapa sawit di pertanian dan perkebunan yang ada dapat sangat meningkat dengan praktik pengelolaan yang lebih baik.

Proyek tersebut didukung oleh hibah sebesar 4 juta dollar dari Kementerian Luar Negeri Norwegia. Para peneliti dari Balai Penelitian Kelapa Sawit Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia, dan Wageningen University di Belanda juga menjadi bagian dari proyek ini. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature Sustainability.

Baca Juga: Karena Perkebunan Sawit, Monyet Ekor Babi Alami Perubahan Perilaku

Produksi sawit tidak selalu berarti mengubah ekosistem yang lebih berharga dan rapuh menjadi lahan pertanian. (Hendra Sugianto/University of Nebraska-Lincoln)

Juan Pablo Monzon, penulis utama studi mengatakan sekitar 42 persen lahan yang digunakan untuk produksi kelapa sawit di Indonesia dimiliki oleh petani kecil, dengan sisanya dikelola oleh perkebunan besar. Monzon merupakan asisten profesor peneliti agronomi dan hortikultura di University of Nebraska-Lincoln.

"Ada potensi besar untuk meningkatkan produktivitas perkebunan saat ini, terutama dalam kasus pertanian petani kecil, di mana hasil saat ini hanya setengah dari apa yang dapat dicapai," kata Monzon.

Grassini mengatakan, penelitian mereka menunjukkan bahwa petani kelapa sawit memiliki peluang yang signifikan untuk meningkatkan produksi. "Dampak potensialnya sangat besar, dan jika kita mampu mewujudkan sebagian dari potensi itu, itu sangat berarti dalam hal menyelaraskan tujuan ekonomi dan lingkungan," kata Grassini.

"Jika kami dapat memproduksi lebih banyak, kami tidak perlu memperluas ke daerah baru. Tapi ini akan membutuhkan implementasi efektif dari kebijakan pemerintah Indonesia saat ini dan memastikan bahwa peraturan ditegakkan sehingga intensifikasi dan peningkatan produktivitas diterjemahkan ke dalam penghematan ekosistem alam yang kritis," Grassini menambahkan.

Mereka penelitian tersebut, kesenjangan antara hasil saat ini dan yang dapat dicapai dapat dijembatani dengan menerapkan praktik agronomi yang baik. Hasilnya, negara dapat memproduksi minyak sawit 68 persen lebih banyak di area perkebunan yang ada yang terletak di tanah mineral.

Praktik-praktik tersebut termasuk metode panen yang lebih baik, pengendalian gulma yang lebih baik, pemangkasan yang lebih baik, dan nutrisi tanaman yang lebih baik. Grassini dan peneliti lainnya sekarang bekerja sama dengan produsen, lembaga swadaya masyarakat, pejabat pemerintah Indonesia, dan sejumlah mitra lainnya untuk menerapkan teknik pengelolaan ini.

Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan

Tandan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dibutuhkan sekitar 38 minggu dari inisiasi sampai tandan siap dipanen. (Hendra Sugianto/University of Nebraska-Lincoln)

Grassini mengatakan, dari hasil tahap pertama penelitian, yaitu mengidentifikasi kesenjangan hasil ternyata cukup mengejutkan. Menurutnya, Indonesia telah melalui periode intensifikasi pertanian yang menghasilkan hasil panen padi dan jagung yang lebih baik, dan Indonesia belum mengantisipasi begitu banyak ruang untuk perbaikan dalam hal kelapa sawit.

Begitu banyak orang dari begitu banyak latar belakang, lanjut Grassini, yang berbeda semuanya bekerja sama untuk menyempurnakan strategi manajemen dan mempraktikkannya. Setelah hanya 15 bulan, hasil di plot uji naik, dengan potensi pertumbuhan lebih banyak di masa depan.

Menurutnya, upaya pendidikan dan penyuluhan yang kuat akan menjadi kunci untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi pertumbuhan. "Saya tidak berpikir Anda akan menemukan terlalu banyak proyek di mana orang bekerja berdampingan di sisi produksi, sisi sains, dan sisi lingkungan," kata Grassini.

Baca Juga: Studi: Kebun Sawit Baru Menghasilkan Emisi Dua Kali Lebih Banyak Dibanding yang Lama