Bagaimana Kalender Tionghoa Padukan Penanggalan Bulan dan Matahari?

By , Rabu, 18 Februari 2015 | 12:35 WIB

Lukisan cina yang menampilkan ilustrasi empat musim. (Stock Photo)

Titik penanda musim itu adalah titik musim semi (chunfen) pada 21 Maret, titik musim panas (xiazhi) 22 Juni, titik musim gugur (qiufen) 23 September, dan titik musim dingin pada (dongzhi) pada 22 Desember.

Tahun dengan 13 bulan disebut tahun kabisat. Sebab, jumlah hari dalam 235 bulan penanggalan Bulan terdapat 6.939,6884 hari akan sama dengan jumlah hari dalam 19 tahun 7 bulan penanggalan Matahari (6.939,6018 hari), maka dalam 19 tahun kalender Tionghoa punya tujuh tahun kabisat. Tahun kabisat adalah mekanisme koreksi agar hari raya jatuh di musim yang sama.

Tahun kabisat terakhir terjadi tahun 2565 Kongzili atau 2014. Saat itu, empat Bulan mati terjadi antara titik musim gugur dan titik musim dingin. Bulan sisipan dimasukkan setelah bulan ke-9 sehingga ada dua bulan ke-9 pada tahun lalu.

Penyebutan tahun dalam kalender Tionghoa ada beberapa versi. Namun, yang digunakan di Indonesia berdasarkan tahun kelahiran Nabi Kongzi (Hokian: Khongcu) pada 551 sebelum Masehi. ”Nabi Khongcu, nabi dan rasul terbesar dan terakhir dalam agama Khonghucu,” kata Budi. Karena itu, tahun 2015 bertepatan dengan tahun 2566 Kongzili (Khongculek).!break!

Tahun baru Imlek

Helmer Aslaksen dalam The Mathematics of the Chinese Calendar, 2010, menyebut, untuk menjaga Imlek jatuh di musim yang sama, dibuat aturan, perayaan awal musim semi itu selalu jatuh di Bulan mati kedua sesudah titik musim dingin.

Warga keturunan Tionghoa beribadah di Kelenteng Tay Kak Sie, di kawasan Pecinan, Semarang (22/1). Tahun Naga Air bertarikh 2563 di kalender Tionghoa dimulai dengan diawali sembahyang Imlek malam hari di ribuan kelenteng di penjuru Indonesia. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)
Ketentuan lain, bulan ke-11 kalender Tionghoa selalu jatuh sekitar titik musim dingin, dan Imlek juga harus jatuh pada Bulan mati pertama setelah puncak musim dingin (dahan) pada 20 Januari.

Imlek juga selalu jatuh pada Bulan mati yang paling dekat dengan awal musim semi (lìchun) bagi masyarakat Tiongkok, yaitu 4 Februari.

Awal musim semi itu jatuh tepat di tengah antara titik musim dingin 22 Desember dan titik musim semi 21 Maret. Aturan itu membuat awal musim semi di Tiongkok selalu lebih dingin dibanding di Barat yang dimulai saat titik musim semi tiba.

Sejumlah persyaratan itu membuat Imlek selalu jatuh antara 15 hari sebelum atau sesudah 4 Februari atau antara 21 Januari dan 19 Februari.

Namun, berdasarkan perhitungan Helmer, Imlek 1645- 2644 terjadi antara 21 Januari dan 21 Februari. Dalam kurun 1.000 tahun itu, Imlek umumnya terjadi antara 22 Januari dan 19 Februari. Imlek 21 Januari dan 20 Februari jarang terjadi, masing-masing hanya 18 kali dan 10 kali, sedangkan Imlek 21 Februari hanya sekali, yakni 21 Februari 2319.

Imlek akan jatuh rata-rata 11 hari (10-12 hari) dibanding Imlek tahun sebelumnya. Namun, saat Imlek jatuh kurang dari tanggal 21 Januari, Imlek akan mundur rata-rata 19 hari (18-20 hari) dibanding tahun sebelumnya. Mundurnya Imlek itu disebabkan sisipan bulan ke-13.

Bulan sisipan membuat satu tahun kabisat kalender Tionghoa bertambah rata-rata 19 hari dibanding jumlah hari kalender Masehi atau tambah 29-30 hari dibanding jumlah hari kalender Hijriah. Untuk itu, satu tahun basit (pendek) kalender Tionghoa 353-355 hari dan tahun kabisat (panjang) 383-385 hari.

Untuk melihat penggunaan berbagai ketentuan itu, tengoklah Imlek 2013 atau 2564 Kongzili. Saat itu, Imlek pada 10 Februari. Pada 2014, Imlek jatuh pada 31 Januari (maju 10 hari). Namun, tahun 2015, jika maju 11 hari, Imlek jatuh pada 20 Januari sehingga menyalahi ketentuan. Karena itu, Imlek 2015 mundur 20 hari dibanding Imlek 2014 dan jatuh 19 Februari.

Sama seperti kalender lain, kalender Tionghoa yang kompleks juga perlu koreksi.