Kisah Para Penjaga Banjir di Sungai Citarum

By , Rabu, 18 Februari 2015 | 17:36 WIB

Kondisi itu membuat warga Majalaya jengah. Tahun 2008, beberapa kelompok pencinta dan peduli lingkungan dari Majalaya dan sekitarnya berkumpul membentuk Garda Caah. Anggotanya macam-macam, mulai lulusan SD hingga perguruan tinggi dengan profesi beragam. Mereka paham butuh usaha lebih keras untuk bisa hidup nyaman di daerah rawan bencana.

”Seiring perkembangan teknologi, banyak warga menggunakan perkembangan teknologi seperti perkiraan cuaca yang lebih terukur untuk memperkuat pengamatan. Selain Sadewa, mereka juga menggunakan Weather and Climate Prediction Laboratory (WCPL) yang digagas Institut Teknologi Bandung,” kata Riki.

Kemandirian itu membuahkan hasil. Saat banjir merendam Majalaya tahun 2008-2014, mereka tak berpangku tangan. Penyebaran informasi dan evakuasi warga terjebak banjir, membuat mereka bisa melewati bencana banjir tanpa korban jiwa.

”Sewaktu musim kemarau, sosialisasi mengenai potensi banjir sering disampaikan dalam beragam pertemuan. Warga harus selalu diingatkan agar paham konsekuensi hidup di daerah rawan bencana,” kata Riki.!break!

Kerja sama saling mengingatkan bahaya banjir terus dilakukan warga Majalaya. Mereka tidak ingin terlalu bergantung pada pemerintah untuk hidup aman bersama bencana.

Sekitar dua jam setelah pengamatan visualnya yang pertama, Mimid kembali memperbarui data yang dimilikinya. Ia kembali meniti tangga menuju lantai tiga rumahnya. Seperti prediksinya, hujan turun merata dan tidak terlalu deras. Mimid yakin ratusan warga di sekitar Majalaya bisa tidur nyenyak.

Di tengah ancaman banjir yang selalu terjadi setiap tahun, harapan itu selalu tumbuh. Sejalan dengan semangat yang selalu mereka pegang.

”Berharap yang terbaik dan bersiap untuk kemungkinan Terburuk! Salam Siaga!”