Kisah Para Penjaga Banjir di Sungai Citarum

By , Rabu, 18 Februari 2015 | 17:36 WIB

Warga Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, bosan dihajar banjir luapan Sungai Citarum. Mereka memilih bergerak ketimbang diam tidak berdaya.

Dari lantai tiga rumahnya setinggi enam meter, Mimid Suamid, warga Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, tidak menghiraukan gerimis membasahi kepalanya. Matanya awas memperhatikan awan kumulonimbus (Cumulonimbus/Cb) bergumpal menghitam di udara. ”Awan Cb ada di sekitar Pacet, Ibun, dan Paseh, berjarak 10-12 kilometer dari tempat kita saat ini,” kata Mimid, Senin (9/2) siang lalu.

Gumpalan awan Cb yang muncul sebelum pukul 13.00, biasanya takkan membawa banjir ke Majalaya. Kalau gumpalan awan Cb yang terbentuk setelah pukul 13.00, yang biasanya memicu banjir di Majalaya.

”Kemungkinan karena waktu pembentukan awan Cb menjadi lebih lama sehingga intensitas hujan terjadi lebih panjang,” kata Mimid yang merupakan anggota komunitas Garda Caah alias penjaga banjir di Majalaya itu.

Akan tetapi, Mimid tidak serta-merta percaya pengamatan visualnya. Menggunakan aplikasi perkiraan cuaca dari Satellite Early Warning System (Sadewa), ia memastikan prediksinya.

Sadewa adalah sistem informasi peringatan dini bencana berbasis teknologi satelit dan dilengkapi sensor terestrial yang dikelola Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pemprov Jabar, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.!break!

Prediksi Mimid tidak keliru. Sadewa memperlihatkan intensitas hujan di sekitar Majalaya merata dan tidak berpotensi sangat deras. ”Semua data langsung dikirimkan ke koordinator Garda Caah melalui pesan singkat sebelum disampaikan kepada anggota lainnya,” ujarnya.

Menerima pesan singkat dari Mimid, Koordinator Garda Caah Riki Waskita bergerak cepat. Riki juga biasanya memilih pengecekan ulang dengan menghubungi informan cuaca di daerah yang dinaungi awan Cb.

”Informan akan memastikan seberapa besar hujan turun dan air meluap dari Sungai Citarum hulu. Namun, karena keterbatasan alat pendukung, mereka juga belajar dari pengalaman. Ada informan yang melihat potensi banjir dari rumah mertuanya di Kecamatan Pacet bergetar atau tidak saat Citarum meluap. Rumah mertuanya dekat dengan Citarum,” katanya.

Selain itu, Riki juga melengkapi data ketinggian air dari petugas pemantau air di Majalaya. Ada tiga kode unik diberikan relawan Garda Caah untuk menunjukkan ketinggian air. Hileud bulu atau ulat bulu untuk hujan ringan, hileud jengkal (ulat jengkal) hujan sedang, dan hileud orok (ulat bayi) yang paling besar untuk hujan deras.

”Setelah semuanya dirasa lengkap, saya baru memberikan informasi ini kepada relawan di lapangan. Mungkin belum sepenuhnya ideal, tapi setidaknya relawan dan warga sekitar Majalaya punya bekal menghadapi segala kemungkinan terburuk banjir,” kata Riki.!break!

Warga di Kabupaten Bandung menjadi bagian dari 16 juta jiwa manusia yang rentan menderita saat Citarum, sungai sepanjang 297 kilometer itu, banjir. Banjir mulai sering terjadi sejak tahun 1980-an dan terus menjadi ancaman. Majalaya adalah salah satu daerah yang terendam.

Penyebab banjir beragam, seperti perambahan daerah hulu, hilangnya fungsi kawasan resapan di hilir, dan kepadatan penduduk di sekitar bantaran sungai. Sedimentasi juga memicu membuat sub-DAS Citarum kritis. Sedimentasi di sub-DAS Cisangkuy, Ciminyak, Cikapundung, Cihaur, Ciwidey, Citarik, dan Cirasea yang mengalir di Bandung Selatan berkisar 1-1,75 juta ton per tahun. Dalam setahun, setidaknya ada 4 juta meter kubik sampah dan lumpur masuk ke Citarum.

Kondisi itu membuat warga Majalaya jengah. Tahun 2008, beberapa kelompok pencinta dan peduli lingkungan dari Majalaya dan sekitarnya berkumpul membentuk Garda Caah. Anggotanya macam-macam, mulai lulusan SD hingga perguruan tinggi dengan profesi beragam. Mereka paham butuh usaha lebih keras untuk bisa hidup nyaman di daerah rawan bencana.

”Seiring perkembangan teknologi, banyak warga menggunakan perkembangan teknologi seperti perkiraan cuaca yang lebih terukur untuk memperkuat pengamatan. Selain Sadewa, mereka juga menggunakan Weather and Climate Prediction Laboratory (WCPL) yang digagas Institut Teknologi Bandung,” kata Riki.

Kemandirian itu membuahkan hasil. Saat banjir merendam Majalaya tahun 2008-2014, mereka tak berpangku tangan. Penyebaran informasi dan evakuasi warga terjebak banjir, membuat mereka bisa melewati bencana banjir tanpa korban jiwa.

”Sewaktu musim kemarau, sosialisasi mengenai potensi banjir sering disampaikan dalam beragam pertemuan. Warga harus selalu diingatkan agar paham konsekuensi hidup di daerah rawan bencana,” kata Riki.!break!

Kerja sama saling mengingatkan bahaya banjir terus dilakukan warga Majalaya. Mereka tidak ingin terlalu bergantung pada pemerintah untuk hidup aman bersama bencana.

Sekitar dua jam setelah pengamatan visualnya yang pertama, Mimid kembali memperbarui data yang dimilikinya. Ia kembali meniti tangga menuju lantai tiga rumahnya. Seperti prediksinya, hujan turun merata dan tidak terlalu deras. Mimid yakin ratusan warga di sekitar Majalaya bisa tidur nyenyak.

Di tengah ancaman banjir yang selalu terjadi setiap tahun, harapan itu selalu tumbuh. Sejalan dengan semangat yang selalu mereka pegang.

”Berharap yang terbaik dan bersiap untuk kemungkinan Terburuk! Salam Siaga!”