Potensi Kerusakan Lingkungan di Balik Gemerlap Batu Akik

By , Jumat, 20 Februari 2015 | 20:30 WIB

Batu-batu berwarna merah, hijau, biru dan aneka warna lainnya menyilaukan mata di pasar Rawa Bening, Jakarta Timur.

Batu-batu akik tersebut berasal dari berbagai daerah Indonesia dan dijual dengan beragam harga mulai dari sepuluh ribu rupiah, hingga puluhan juta rupiah.

Umumnya masyarakat menjadikannya aksesoris perhiasan seperti cincin dan kalung.

Pesona batu akik memang seperti menyihir berbagai kalangan.

Salah satunya adalah Zainal yang baru menyukai batu akik beberapa bulan terakhir karena mengikuti tren saat ini.

Zainal mengunjungi Pasar Rawa Bening pertengahan Februari 2015 untuk menambah koleksi batu akiknya yang sudah ada tiga buah.

"Saya sih kurang-kurang ngerti mengenai batu akik yang penting bentuknya (saya) senang. Paling saya belinya yang murah-murah saja, kisaran 300-an ke bawah," kata Zainal.

Sejumlah pramuniaga melayani pembeli di salah satu kios di Pasar Jakarta Gems Center (JGC), Jatinegara, Jakarta. JGC yang merupakan tempat bersejarah dalam perkembangan Kota Jakarta, kini telah direnovasi menjadi pusat batu akik dan permata modern yang ramai dikunjungi wisatawan asing dan domestik. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Lain halnya dengan Arifin Azhari yang mengaku sudah lama mengoleksi batu akik. Arifin sore itu sedang membeli batu Bacan yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai batu akik paling diburu di Indonesia saat ini.

"Bacan mungkin empat, lima tahun yang lalu batu yang tidak dianggap oleh komunitas penggemar batu mulia di sini. Orang dulu lebih cenderung ke produk-produk impor seperti Blue Saphir. Nah, kita (di Indonesia) sekarang ini tumbuh, Bacan, terus kemudian Giok Aceh, Batu Garut, Kalimaya dan sebagainya," jelas Arifin.

Hal ini dibenarkan oleh Dado, seorang penjual batu akik. Dado sudah dua tahun terakhir berjualan batu akik di pasar Rawa Bening, Jakarta Timur karena banyaknya peminat batu tersebut.

"Tadinya saya bisnis aksesoris. Cuman semenjak permintaan batu akik meningkat, saya beralih ke batu akik," ucap Dado.

!break!

Potensi longsor

Namun, meningkatnya permintaan akan batu akik, menimbulkan sebuah masalah, yakni masalah lingkungan.

"Ketika misalkan struktur tanah yang ditumpangi oleh batu dan kayu, dari atas kemudian illegal logging, di bawah kemudian digempur oleh pengambilan batu. Ini kemudian akan melemahkan struktur pertanahan. Jadi dampaknya, bisa terjadi longsor," ujar Muhammad Nur.

Muhammad Nur menjelaskan, longsor memang belum terjadi sekarang karena maraknya pertambangan batu akik baru terjadi beberapa bulan terakhir.

Warga Baraka, Kabupaten Enrekang Harus melawan derasnya Sungai Baraka, demi mencari penghasilan tambahan mencari Batu Sisik Naga. (Suddin Syamsuddin/Kompas.com)

Namun, dapat terjadi tahun depan tutur pegiat lingkungan hidup tersebut. Agar tidak terjadi longsor, ada langkah yang dapat ditempuh untuk mencegahnya, ungkap Muhammad Nur.

"Pemerintah dapat segera mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur tentang pengelolaannya, ada manajemen pengelolaannya, ada tenaga ahli yang mendampingi, ada sistem proses penjualan yang cukup jelas sehingga jaminan dari biaya-biaya penjualan batu ini bisa disimpan sebagai jasa lingkungan yang kemudian akan digunakan untuk yang rusak tadi," kata Muhammad Nur.

Koleksi batu akik (KOMPAS)

Deputi pencemaran lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Karliansyah mengatakan pemerintah menyadari adanya potensi kerusakan lingkungan akibat penambangan batu akik. Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup pun sudah bertindak, kata Karliansyah.

"Tentu kita mengingatkan Pemda yah, kita evaluasi ini. Karena contoh yang paling gampang dilihat adalah misalnya dampak penambangan emas rakyat. Itu kan menggunakan merkuri. Masuk ke badan air, ini yang bikin perkara buat masyarakat di wilayah hilir," jelas Karliansyah.

Karliansyah pun berharap agar para penambang patuh pada peraturan dan tidak melakukan aktivitas penambangan yang dapat merusak lingkungan.