Pintu Gurun Pasir

By , Selasa, 24 Februari 2015 | 14:10 WIB

Di dekat Aqaba, Yordania, 29°31'56" LU, 34° 59' 52" BT

“Orang yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai dia pulang.”—Sunan Al-Tirmidzi, 39: 2. (Dalam Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and the Religious Imagination, diedit oleh Taylor and Francis.)

Kami sedang bergerak lambat ke utara menuju Haql, ke tepi Syam, melintasi dataran putih bak samudra yang membara di tepi laut sungguhan—Teluk Aqaba. Tidak ada yang mengusik selain angin. Kami menapaki debu yang telah ada sejak awal waktu. Lalu jejak itu muncul: seorang manusia yang berjalan ke timur tanpa unta, sendirian. Ali al Harbi, juru bahasa saya, menyarankan saya memfotonya. Tetapi, buat apa? Jejak itu bisa milik siapa saja, bahkan jejak kami sendiri. Besok akan lenyap. (Demikian pula jejak kami—dihapus oleh sapu abadi angin utara yang bertiup dari Suriah, dari Palestina.) Namun, kekuatan jejak itu—kemampuannya menyedot perhatian kami—membuktikan paradoks Arab Saudi. Gurun pasir terkenal yang dulu dihuni kaum melegenda—kaum Badui—pemandangan dongeng yang kini hampir sepenuhnya terbengkalai, terlucuti dengan munculnya kota, minyak bumi, mobil. Sepanjang jalur 1.100 kilometer, ini baru jejak kaki kedua yang kami lihat.

Berjalan melintasi Hijaz sering terasa seperti bergerak dalam mimpi. Melalui masyarakat yang kaget terlempar dari kemah bulu kambing hitam ke pencakar langit berlapis kaca. Halusinasi pangkalan truk berlampu neon yang dilengkapi Pizza Hut. (Orang Saudi menatap keluar, melalui kaca jendela ruangan ber-AC, melihat seorang Amerika menuntun dua ekor unta melalui panas bak tungku.) Rasa keterkucilan, keterpisahan, yang berat. Ritual hidup sehari-hari yang penuh iman. (“Permisi, Mister Paul, saya mau sholat dulu.”) Keinginan untuk dipahami, meskipun terhalang dinding, kerudung, dan pembatasan visa. Takjub memandang satu sama lain. Betapa mustahilnya semua ini. Kehampaan sejarah yang membuat gamang.

!break!

Pada hari menemukan jejak kaki itu, kami berkemah di dataran terbuka.

Saya berdiri di atas sebuah bukit kecil, mencari sinyal ponsel seperti biasa. Dan seiring turunnya malam, yang di padang pasir tampaknya seperti merembes keluar dari tanah dan bukan turun dari langit, saya mendengar suara di kejauhan. Dari perkemahan saya: Ali al Harbi, Awad Omran, dan Hassan al Faidi, teman perjalanan saya. Dan dari suatu tempat di balik kegelapan malam: kendaraan Penjaga Pantai yang membuntuti kami yang kini sedang parkir. Kami telah berminggu-minggu diawasi.

            "Mengapa kalian mengikuti kami?" saya bertanya kepada para tentara itu.

            "Kami melindungi Anda."

            "Dari apa?"

            "Kami melindungi Anda."

Di Barat, gencarnya celoteh iklan, televisi, informasi sepele, SMS, dan telepon menutupi hal yang benar-benar penting. Di Arab Saudi, diam masih berarti emas.

Saya turun ke kemah dengan suasana hati yang buruk. Namun, saat saya mendekat ke desis kompor gas, ke terpal yang dibentangkan di atas pasir, saya mendengar teman-teman tertawa. Kehadiran tentara tidak mengganggu mereka. Mereka bercerita, sambil berbaring bertelekan siku, menyeruput teh. Dan dalam sekitar 30 langkah, suasana hati saya membaik. Hati saya berubah. Rekan kafilah inilah Arab Saudi saya. Bukan gurun pasirnya. Saya sangat senang kami bisa berkumpul. Bahkan termasuk pengawas kami. Kami semua sedang melakukan perjalanan bersama, sebagaimana yang selalu kita lakukan.

Hari ini saya berpamitan dengan Ali, Awad, dan Hassan, yang menjadi sahabat kekal saya seumur hidup. Saya berpamitan dengan pengurus logistik Saeed al Faidi, yang akan menampung unta pemberani Faris dan Sima di peternakan padang pasirnya di luar Yanbu, dimanjakan sampai hari tua. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada wakil gubernur Haql, yang mengizinkan saya berjalan 500 meter menyeberangi perbatasan internasional antara Arab Saudi dan Yordania—perjalanan yang rupanya belum pernah dilakukan orang. Saya mengucapkan selamat tinggal kepada Kerajaan Arab Saudi.