Empat puluh tiga kilometer gurun kering memisahkan Haql dari Aqaba, Yordania. Bahan bakar saya hanyalah sebotol kecil jus jambu biji.
Saya melangkah dari pintu gurun tanpa membawa apa-apa selain baju di badan dan tas sandang yang penuh buku tulis—buku dengan halaman bergaris biru yang diikat dengan karet gelang dan kotor oleh keringat, tahi unta, dan noda darah saya. Semuanya penuh dengan tulisan mengenai panas yang mengerikan. Posisi sumur di kejauhan. Gambar peta jalur haji. Ramalan dari pengobatan api Badui. Berkilometer kalimat dari kerajaan keras yang umumnya masih tertutup bagi dunia. Saya berjalan di jalan beraspal beton dan melihat artefak beralkohol pertama yang saya lihat dalam tujuh bulan (botol, kaleng), melewati sebuah tambang kalium besar, dan menyusuri pantai berliku hingga ke sebuah kota wisata. Saya melihat perempuan mengenakan sarung berwarna-warni. Ada yang mengendarai mobil. Tidak ada yang mengawasi saya. Saya melayang keluar dari wadi gurun seperti sampah yang tertiup angin. Saya menemukan ATM. Saya menanyakan arah ke hotel mewah yang lobinya dilengkapi mebel tiruan Mies van der Rohe. Orang menawarkan wisata naik unta di luarnya.
"Dan Anda"—tanya sang petugas, tanpa sedikit pun rasa ingin tahu, saat saya menandatangani dokumen—"dari mana, Tuan Salopek?"