Pesawat tanpa awak atau drone dapat digunakan untuk beragam tujuan, terkait kepentingan militer ataupun sipil. Oleh karena itu, penggunaannya di Indonesia ataupun di negara lain perlu pembatasan dan pengaturan.
Penggunaan drone beberapa tahun terakhir ini mulai marak di Indonesia, antara lain untuk pengambilan gambar kondisi banjir di Jakarta oleh beberapa stasiun TV nasional. Pemetaan cepat kondisi daerah terdampak pasca bencana juga dilakukan untuk perencanaan evakuasi korban.
Namun, drone juga digunakan untuk tujuan intelijen atau mata-mata. Salah satu contoh kasus adalah penggunaan drone secara ilegal oleh tiga jurnalis stasiun TV Al-Jazeera di Paris, Perancis, Senin (23/2).
Mereka ditangkap karena diduga melakukan pengintaian Istana Kepresidenan dan kedutaan Amerika Serikat menggunakan drone, dua malam berturut-turut. Di Perancis, mengoperasikan drone secara ilegal dapat dikenai hukuman satu tahun penjara dan denda lebih dari Rp1 miliar.
Kasus pengintaian dengan drone juga dilaporkan Pemerintah Perancis terjadi pada lima Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), bulan November tahun lalu.
Wahana tanpa awak ini, yang juga dikenal sebagai unmanned aerial vehicle (UAV), bukan saja bisa digunakan untuk pengintaian. Lebih dari itu, bahkan dapat juga dipersenjatai hingga menjadi sarana pembunuh.
Empat anggota Al Qaeda, dua pekan lalu, tewas akibat serangan drone di Provinsi Hadramaut di tenggara Yaman. Drone ini dioperasikan AS, targetnya menggempur tentara Al Qaeda di daerah Qatan dan Shibam. Sementara itu, di Afganistan, drone AS juga menewaskan enam pejuang negara ini, awal pekan lalu.
Dalam pengembangannya, drone memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer. Pada awal pengembangannya, pesawat tanpa pilot ini digunakan sebagai sasaran tembak. Namun, ditingkatkan untuk melakukan misi penyerangan.
Wahana nirawak ini dilengkapi kendali jarak jauh oleh operator di darat. Bahkan, dapat diprogram pada komputer yang terpasang di UAV. Dengan sistem kendali otomatis atau autopilot, UAV dapat terbang dan kembali ke tempat semula tanpa bantuan manusia.
!break!Kepentingan sipil
Pasca perang dunia, pesawat tanpa awak mulai digunakan untuk keperluan nonmiliter/sipil, terutama di kawasan terpencil dan rawan bencana, seperti pemantauan kebakaran hutan hingga pemadam kebakaran, serta pemeriksaan jalur pipa.
Di Indonesia, pesawat nirawak buatan Lapan antara lain digunakan untuk mengambil gambar puncak Merapi pasca erupsi tahun 2010 dari ketinggian 3.300 meter. "Pengembangan pesawat nir awak Lapan telah sampai generasi kedua dengan kemampuan terbang pulang pergi sejauh 3.000 kilometer," jelas Gunawan Prabowo, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan.
Dalam tahap penelitian dan pengembangan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) termasuk perintisnya. Rancang bangun dan rekayasa Pesawat Terbang Tanpa Awak (PPTA) telah dimulai tahun 2000 di BPPT dan dipimpin Said D Jenie (almarhum).